Cerpen Oktelia
Afdal
Aku membuka jendela. Kulihat bingkisan di atas batu labrik yang
dionggok di bawah jendela.
Aku lupakan sementara bingkisan itu. Aku rapikan
kasur dan selimut. Sembari melipat selimut, aku bingung dan mulai merasa aneh.
“Kalau diletakkan di bawah jendela kamarku, sudah jelas bingkisan itu
ditujukan kepadaku” begitu pikirku.
Setelah itu, aku segera mandi dan bersiap-siap mengantarkan kue
buatan Ibu ke warung-warung. Sebelum berangkat, aku mendapati pita merah jambu
di keranjang sepeda. Barangkali hari
ini aku diteror. Mulai dari bingkisan di bawah jendelaku, ditambah dengan pita
merah jambu pada sepedaku. Karena
hal itu, aku mencari Ibu ke dalam kamarnya. Ibu tak ada. Aku cari ke dapur, Masih tak aku temui. Lalu aku memanggil Ibu, berputar-putar
mulai dari depan rumah sampai kebun belakang tempat Ibu biasanya menanam tumbuhan obat-obatan.
Ibu nongol dari arah belakang kebun. Entah
apa yang dicari Ibu dari sana. Aku tak hiraukan
itu. Aku langsung saja bertanya tentang bingkisan di bawah jendela dan pita di
keranjang sepeda. Ternyata ibu juga tak mengetahuinya.
Aku kembali ke kamar. Aku lihat lagi bingkisan itu. Rasa
penasaranku makin menjadi-jadi.
Beberapa pertanyaan mulai
terpikir olehku. Aku segera
keluar dari kamar dan
mengambil bingkisan itu. Ringan sekali, Seperti tidak berisi.
Aku sobek pembungkus luar bingkisan itu. Ternyata
masih ada lagi bungkus keduanya dengan kertas minyak bewarna hitam. Aku tetap
ingin membukanya. Setelah aku buka bungkus hitam itu, aku melihat bingkisan itu
dari kardus. Aku sobek saja perekat kardus, Aku menemukan selembar kertas yang ditulis “AKU”. Lalu membawanya masuk ke dalam kamar.
Mungkin saat itu wajahku pucat pasi. Merasa seakan sedang bermain di filem horor.
Aku biarkan saja kertas itu di atas kasur. Lalu
kubuang pembungkus bingkisan itu keluar kamar.
***
“Nana... Bangun, nak.. Ini hari minggu. Kau lupa mengantarkan kue Ibu ke
warung-warung?”
Aku bersiap-siap mengantarkan kue ke
warung-warung. Aku berangkat
mengantarkan kue-kue Ibu dengan
sepeda. Di warung
terakhir tempat aku menitipkan kue-kue, Aku
melihat bungkus kado yang persis sama dengan pembungkus kado bingkisan di bawah jendela. Lama sekali aku
menatapnya.
Aku pulang sambil bertanya-tanya
dalam hati, ‘Mana
mungkin bingkisan itu datang dari warga penghujung di kampungku. Kalaupun
mungkin, aku tak mengenal satupun pemuda di sana. Teman, aku tak punya teman
daerah dekat-dekat sana. Sudahlah, aku capek sekali’. Aku mengayuh kencang sepeda agar cepat sampai di rumah.
Di, rumah aku dapati Ibu sedang memasak ayam kuah kecap makanan
kesukaanku. Sampai di rumah,
aku langsung makan di depan TV. Aku melihat ada bingkisan di bawah tempat TV. Aku taruh piring nasi di lantai. Aku ambil bingkisan itu.
“Bingkisan itu ibu temukan di tadi di depan pintu” Sahut Ibu yang tiba-tiba lewat sambil
membawa jemuran kain ke dalam rumah.
“Depan pintu? Kapan Bu? Siapa lagi orang
yang mengirim ini?” Ibu hanya menggeleng dan senyum simpul saja. Ayam kuah
kecap kesukaanku terlupakan. Akhirnya
dimakan kucing. Aku tetap saja memegang bingkisan itu. Aku buka bingkisan itu.. Kembali aku temui
kertas putih yang bertuliskan satu kata “KAMU”. Mataku tak berkedip sama
sekali. Degup jantungku berdebar-debar. Panas dingin meradang di tubuhku.
Aku masuk ke dalam kamar. Samar-samar mataku melihat langit-langit
kamar. Aku teringat seorang penyair yang hilang di masa aku SMA. Setelah ku rangkai
kertas itu, hujan di mataku tak kunjung reda. Hingga
menghanyutkan aku pada sebuah kenangan. Aku ingat benar ia pernah berkata,
“Kelak, AKU KAMU adalah judul
puisiku untukmu pada suatu hari di hari minggu”. *
Labor Penulisan Kreatif, 2014
Tentang Penulis :
Oktelia Afdal, mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Universitas Andalas.
0 comments:
Post a Comment