Esai Rita Deswita
Setiap
karya memiliki genrenya masing-masing, tidak terkecuali sastra. Dalam beberapa
tahun terakhir ini banyak ditemui karya sastra yang mengangkat tema Islam dan
masalah keislaman sebagai gagasan atau ide pokoknya. Sebut saja karya-karya
sastra populer karangan Habiburrahman, yang mengemas cerita-cerita pergaulan
hidup manusia terutama dalam hal percintaan dihiasi dengan nuansa-nuansi islami
yang ada di Mesir. Ayat-ayat Cinta
yang menjadi novel Best Seller ini , menjadi
pemantik bagi pengarang-pengarang lain untuk menciptakan jenis novel dengan
napas yang sama. Muncullah novel-novel islami yang meruak ke permukaan bak
jamur yang tumbuh di musim penghujan saat ini. Baru-baru ini novel 99 Cahaya di Langit Eropa karangan
sepasang suami istri, Hanum Salsabila Rais dan Rangga, juga menyuguhkan cerita
yang berbau Islami. Diwujudkan dalam setiap rangkaian peristiwa yang dialami
oleh Hanum dalam mencari hidayah Tuhan Yang Maha Kuasa. Fenomena ini
menimbulkan sejumlah pertanyaan yang bersarang dalam benak kita, seberapa besar
aspek Islam yang ada pada karya sasra Islami? Apakah setiap karya sastra
bergenre Islami memiliki nilai keislaman sebagai esensi pokoknya? Jika ada,
seberapa besarkah derajat keislaman dalam sastra bergenre Islami itu? Tentulah
ini merupakan suatu bentuk tindakan untuk mengkritisi isi sebuah karya sastra,
mengingat pada kenyataannya banyak karya sastra yang ngakunya Islami, tetapi hanya karena narasi cerita yang dipenuhi
simbol-simbol kegamaan. Tidak jarang karya sastra yang mengangkat masalah Islam,
hanya sebatas sarana untuk mencapai tujuan estetis semata, tanpa
mempertimbangkan aspek keislaman Islam itu sendiri. Artinya, banyak
pengarang-pengarang sastra Islami menyuguhkan cerita dengan nuansa islam,
tetapi tidak memperhatikan aspek-aspek atau nilai-nilai Islam yang sesungguhnya
dan kadang berlawanan dari apa yang ada dalam ceritanya. Hal itu menyebabkan,
pengarang mencari jalan alternatif-alternatif yang bisa dijadikannya sebagai
patokan keislaman dalam karyanya. Peristiwa-peristiwa yang sarat akan
simbol-simbol keagamaan seolah menjadi syarat mutlak dalam pandangan seorang
pengarang dalam menciptakan karyanya. Suara azan, kubah masjid, santri
merupakan simbol-simbol yang kerap kali ditemukan dalam sastra bergenre Islam
saat ini. Seolah memaksakan untuk menyinkronnya atau menyelaraskan dengan
narasi cerita yang akan dibuat. Bukankah Islam sendiri mempunyai nilai-nilai
atau esensi-esensi yang jika diperhatikan lebih cermat lagi erat kaitannya
dengan manusia dan kemanusian, di samping relation
antara seorang hamba dan sang khaliq. Bukankah simbol-simbol keagamaan yang
seperti disebutkan di atas hanya sekedar bentuk-bentuk acuan dalam Islam
(Saussire menyebut dengan petanda), bukan tentang apa yang ada dalam ajaran
Islam. Artinya, suara azan ,masjid dan sebagainya ialah penanda agama Islam,
sedangkan nilai-nilainya seperti telah disebutkan lebih berkaitan dengan
manusia dan kemanusian, di samping hubungan
antara makhluk dan sang pencipta. Simbol-simbol tersebut hanya digunakan
untuk sarana untuk mencapai tujuan estetetis semata dan mengaburkan nilai-nilai
Islam itu sendiri. Bukankah kita ketahui jika suatu tujuan sudah tercapai, cara
menjadi hal yang tidaklah terlalu penting. Nilai keislaman itu hanya
dimanifestasikan dalam bentuk simbol-simbol keagamaan dalam karya-karya sastra.
Untuk itu, sastra bergenre Islam perlu mendapat perhatian yang lebih oleh kita
semua.
Jika
kita menilik sejarah sastra Indonesia beberapa dekade ke belakang, banyak juga
ditemukan pengarang yang mengangkat tema keislaman dalam karyanya. Sebut saja
Buya Hamka. Roman-roman buah hasil pikiran Hamka banyak yang ide-ide ceritanya
berkaitan dengan agama Islam, selain (tentunya) masalah adat Minangkabau. Akan
tetapi, sepertinya, Hamka telah mempelajari tentang Islam secara Kaffah. Secara menyeluruh bukan hanya
sebatas mengetahui simbol-simbol agama Islam. Hal ini sebagai indikator bahwa
latar belakang sosial budaya juga mempengaruhi karya seorang pengarang. Hamka
seorang ulama besar yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan dan keluarga
yang juga ulama. Beliau tentunya mengetahui Islam secara mendalam. Baik simbol-simbol
agama lebih-lebih aspek atau nilai-nilai Islam. Walaupun ia tidak secara
ekplisit dalam karya-karyanya tidak menyuarakan nilai-nilai, tetapi esensi dari
keislaman itu dapat dirasakan dan barangkali tentunya dapat diterjemahkan.
Bahkan terkadang, Hamka juga seolah berdakwah (tanpa menggurui pembaca) lewat
karya-karyanya. Hal inilah barangkali dapat kita simpulkan bahwa sastra
bergenre Islami belum tentu memuat unsur-unsur keislaman sebagaimana layaknya,
semua itu tergantung dari proposisi masing-masing pengarang untuk
menyuguhkannya lewat penarasian ceritanya, sehingga derajat keislaman dalam
sebuah karya sastra Islami selain berdasarkan subjektivitas pengarang dalam menginterpretasikan
nilai-nilai islam dalam karyanya, tampaknya latarbelakang sosbud yang ada di
sekitar pengarang tersebut juga memberi andil dalam karyanya. (*)
*Penulis Mahasiswa
Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang
0 comments:
Post a Comment