Friday, November 21, 2014

Mengukur Derajat Keislaman dalam Sastra Bergenre Islami

Esai Rita Deswita

Setiap karya memiliki genrenya masing-masing, tidak terkecuali sastra. Dalam beberapa tahun terakhir ini banyak ditemui karya sastra yang mengangkat tema Islam dan masalah keislaman sebagai gagasan atau ide pokoknya. Sebut saja karya-karya sastra populer karangan Habiburrahman, yang mengemas cerita-cerita pergaulan hidup manusia terutama dalam hal percintaan dihiasi dengan nuansa-nuansi islami yang ada di Mesir. Ayat-ayat Cinta yang menjadi novel Best Seller ini , menjadi pemantik bagi pengarang-pengarang lain untuk menciptakan jenis novel dengan napas yang sama. Muncullah novel-novel islami yang meruak ke permukaan bak jamur yang tumbuh di musim penghujan saat ini. Baru-baru ini novel 99 Cahaya di Langit Eropa karangan sepasang suami istri, Hanum Salsabila Rais dan Rangga, juga menyuguhkan cerita yang berbau Islami. Diwujudkan dalam setiap rangkaian peristiwa yang dialami oleh Hanum dalam mencari hidayah Tuhan Yang Maha Kuasa. Fenomena ini menimbulkan sejumlah pertanyaan yang bersarang dalam benak kita, seberapa besar aspek Islam yang ada pada karya sasra Islami? Apakah setiap karya sastra bergenre Islami memiliki nilai keislaman sebagai esensi pokoknya? Jika ada, seberapa besarkah derajat keislaman dalam sastra bergenre Islami itu? Tentulah ini merupakan suatu bentuk tindakan untuk mengkritisi isi sebuah karya sastra, mengingat pada kenyataannya banyak karya sastra yang ngakunya Islami, tetapi hanya karena narasi cerita yang dipenuhi simbol-simbol kegamaan. Tidak jarang karya sastra yang mengangkat masalah Islam, hanya sebatas sarana untuk mencapai tujuan estetis semata, tanpa mempertimbangkan aspek keislaman Islam itu sendiri. Artinya, banyak pengarang-pengarang sastra Islami menyuguhkan cerita dengan nuansa islam, tetapi tidak memperhatikan aspek-aspek atau nilai-nilai Islam yang sesungguhnya dan kadang berlawanan dari apa yang ada dalam ceritanya. Hal itu menyebabkan, pengarang mencari jalan alternatif-alternatif yang bisa dijadikannya sebagai patokan keislaman dalam karyanya. Peristiwa-peristiwa yang sarat akan simbol-simbol keagamaan seolah menjadi syarat mutlak dalam pandangan seorang pengarang dalam menciptakan karyanya. Suara azan, kubah masjid, santri merupakan simbol-simbol yang kerap kali ditemukan dalam sastra bergenre Islam saat ini. Seolah memaksakan untuk menyinkronnya atau menyelaraskan dengan narasi cerita yang akan dibuat. Bukankah Islam sendiri mempunyai nilai-nilai atau esensi-esensi yang jika diperhatikan lebih cermat lagi erat kaitannya dengan manusia dan kemanusian, di samping relation antara seorang hamba dan sang khaliq. Bukankah simbol-simbol keagamaan yang seperti disebutkan di atas hanya sekedar bentuk-bentuk acuan dalam Islam (Saussire menyebut dengan petanda), bukan tentang apa yang ada dalam ajaran Islam. Artinya, suara azan ,masjid dan sebagainya ialah penanda agama Islam, sedangkan nilai-nilainya seperti telah disebutkan lebih berkaitan dengan manusia dan kemanusian, di samping hubungan antara makhluk dan sang pencipta. Simbol-simbol tersebut hanya digunakan untuk sarana untuk mencapai tujuan estetetis semata dan mengaburkan nilai-nilai Islam itu sendiri. Bukankah kita ketahui jika suatu tujuan sudah tercapai, cara menjadi hal yang tidaklah terlalu penting. Nilai keislaman itu hanya dimanifestasikan dalam bentuk simbol-simbol keagamaan dalam karya-karya sastra. Untuk itu, sastra bergenre Islam perlu mendapat perhatian yang lebih oleh kita semua.
Jika kita menilik sejarah sastra Indonesia beberapa dekade ke belakang, banyak juga ditemukan pengarang yang mengangkat tema keislaman dalam karyanya. Sebut saja Buya Hamka. Roman-roman buah hasil pikiran Hamka banyak yang ide-ide ceritanya berkaitan dengan agama Islam, selain (tentunya) masalah adat Minangkabau. Akan tetapi, sepertinya, Hamka telah mempelajari tentang Islam secara Kaffah. Secara menyeluruh bukan hanya sebatas mengetahui simbol-simbol agama Islam. Hal ini sebagai indikator bahwa latar belakang sosial budaya juga mempengaruhi karya seorang pengarang. Hamka seorang ulama besar yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan dan keluarga yang juga ulama. Beliau tentunya mengetahui Islam secara mendalam. Baik simbol-simbol agama lebih-lebih aspek atau nilai-nilai Islam. Walaupun ia tidak secara ekplisit dalam karya-karyanya tidak menyuarakan nilai-nilai, tetapi esensi dari keislaman itu dapat dirasakan dan barangkali tentunya dapat diterjemahkan. Bahkan terkadang, Hamka juga seolah berdakwah (tanpa menggurui pembaca) lewat karya-karyanya. Hal inilah barangkali dapat kita simpulkan bahwa sastra bergenre Islami belum tentu memuat unsur-unsur keislaman sebagaimana layaknya, semua itu tergantung dari proposisi masing-masing pengarang untuk menyuguhkannya lewat penarasian ceritanya, sehingga derajat keislaman dalam sebuah karya sastra Islami selain berdasarkan subjektivitas pengarang dalam menginterpretasikan nilai-nilai islam dalam karyanya, tampaknya latarbelakang sosbud yang ada di sekitar pengarang tersebut juga memberi andil dalam karyanya. (*)

*Penulis Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang

0 comments:

Post a Comment