Cerpen Muhaimin Nurrizqy
Sekarang di
setiap malam, Atuk selalu bercerita kepadaku. Ia selalu menceritakan hal yang sama setiap bercerita.
Jadi, ketika ia bercerita, aku sudah hafal
dimana nada bicaranya akan lembut atau tegas.
Jika tempat gelapku dimasuki cahaya dari arah pintu, pada waktu itulah Atuk masuk.
Ketika ia di dalam, aku hanya bisa
diam. Lalu mulutku mulai bergetar. Saat Atuk mulai bercerita, selalu air mengalir dari sudut mataku.
***
Pagi itu pipiku serasa dielus lembut. Seperti elusan kapas.
Ya, itu elusan ibu untuk membangunkanku.
Ketika mataku terbuka,
ada siluet senyum ibu yang lama-kelamaan mulai jelas. Lalu terdengar suara, “Bangun Yuang, bantu Ibu keladang.” Aku segera duduk.
Termenung sesaat. Kemudian berlari menuju sumur untuk mandi.
Setelah mandi, pakaian sudah disiapkan ibu di atas kasur. Karena takut ditinggal ibu, aku salah memakaikan baju.
Lubang yang sebenarnya untuk tangan malah kepalaku yang masuk. Segera kubenarkan memasangnya.
Lalu aku langsung berlari keluar sambil tertawa.
Udara pagi melesat masuk hidung dan mengalir menuju paru-paru.
Aku dan ibu mulai berjalan keluar halaman rumah untuk menuju ladang. Tempayan dipegang ibu dengan tangan kanannya,
sedangkan tangan kirinya aku pegang sambil berjalan dengan langkah-langkah yang sengaja aku besarkan.
Pagi itu hanya ada warna biru
yang halus. Di langit terlihat burung-burung melayang kesana kemari. Aku melihat dua burung yang sedang bergelut. Mereka
saling menyerang dengan cakar mereka. Itu sangat menarik bagiku, sehingga
bulatan hitam di mataku hanya terpaku mengikuti arah mereka terbang.
Belum cukup lama aku melihat burung-burung itu, tiba-tiba saja langkahku terhenti karena tangan ibu juga berhenti bergerak. Kami melihat orang-orang berlari ke arah lapangan yang berada di depan surau.
Aku melihat ada seseorang yang juga mememegang tempayan dengan tangan kanannya. Orang itu adalah Mak Elok. Mak Elok
yang biasa berladang dengan kami. Mak Elok sering memberikanku singkong rebus, walau aku terkadang malas memakannya.
Karena postur tubuhnya membungkuk, Mak Elok berjalan sangat lamban.
Tangannya yang memegang tempayan seperti hanya tinggal tulang
yang berbalut kulit. Aku juga sering melihat di tangan Mak Elok banyak
tonjolan-tonjolan yang mirip aliran sungai.
Di belakang Mak Elok ada seorang lelaki yang hanya memakai celana.
Lelaki itu sedang menarik seekor kerbau, yang diikuti kerbau yang lebih kecil.
Tiba-tiba tangan ibu menarikku. Aku melihat dahi ibu berkerut.
Pandangannya tidak beraturan. Sesekali ibu melihat ke kanan lalu ke kiri. Kelopak mata ibu lebih cepat berkedip dari sebelumnya. “Ada apa bu?” tanyaku.
Ibu hanya diam.
Kami berjalan mengikuti arah kerumunan.
Kami berhenti di
kerumunan itu. Ramai sekali orang di sana, sehingga aku tidak bisa melihat apa yang terjadi
di depan. Kemudian ibu menarikku ke sudut lain yang bisa melihat keadaan
di depan sana.
Aku melihat panggung
yang di atasnya ada beberapa Kompeni dan barang-barang
yang ditumpuk. Salah satu dari Kompeni itu maju ke depan. Kompeni itu seperti sedang berbicara.
Karena aku dan ibu berada
di belakang keramaian, kami
tidak mendengar apa
yang diucapkannya. Ibu mencoba bertanya kepada
orang-orang yang berada di dekat kami, tapi juga tidak ada
yang mendengar.
Orang mulai berbisik-bisik. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tidak tahu.
Yang jelas mereka berbisik. Di tengah itu, terdengar suara mesin dari arah belakang.
Pandangan semua orang
seketika berbalik menuju arah tersebut.
“Itu apa bu?” tanyaku.
“Itu mesin berjalan dengan empat roda, nak,” jawab ibu.
Dari benda itu turun seseorang
yang memakai baju putih bersih.
Baju itu mengkilat, menyilaukan pandangan. Hanya
orang itu yang memakai baju sebersih itu
di sini. Karena bagi kami yang biasa memakai baju adalah wanita. Itu pun
tidak sebersih baju
yang dipakai orang itu. Aku
pun bertanya kepada ibu siapa
orang itu.
“Itu orang
Padang yang kaya, nak,” jawab ibu.
Ketika ia berjalan memasuki kerumunan,
orang-orang menepi memberinya jalan. Orang itu terus berjalan ke depan sampai punggungnya tertutup lagi oleh kerumunan.
Kompeni di
panggung itu kemudian mengangkat sebuah benda berbentuk guci. Seketika orang berteriak. Samar-samar kudengar orang mengucapkan “Dua, Tiga, Empat setengah.”
Teriakkan itu terhenti ketika kulihat ada orang yang naik ke atas panggung dan mengambil barang tersebut. Seperti itu selanjutnya.
Ketika Kompeni itu mengangkat sebuah benda, orang-orang bakal berteriak.
Dari arah belakang terdengar lagi suara mesin.
“Itu mesin berjalan dengan dua roda, nak,” ujar ibu tiba-tiba.
Benda itu dikendarai oleh seseorang yang memakai baju merah.
Tepatnya merah padam. Orang-orang tidak menggubrisnya, karena segala pandangan tertuju ke atas panggung.
“Itu siapa bu?” tanyaku.
“Itu orang Bukittinggi yang banyak duitnya,” jawab ibu.
Orang yang
memakai baju merah padam itu berlari menuju kerumunan sambil berteriak “Lima! Lima!”
***
Silau cahaya dari arah pintu membuat mataku susah melihat.
Aku tahu yang datang itu Atuk.
Ia membawa setengah batok kelapa
yang berisi nasi.
“Makan ya, nanti sakit,” suara serak yang menjadi ciri khas suara Atuk.
Batok kelapa itu diletakkanya dekat kepalaku. Batok itu kubiarkan saja di sana.
Tidak kusentuh.
Atuk keluar dan menutup pintu.
Mataku kembali dibutakan oleh warna hitam.
***
Tanganku terlepas dari tangan ibu.
Aku mencoba mencari-cari tubuh ibu
di sela-sela keramaian. Aku menyelip di antara banyaknya
orang disana. Arah pergiku hanya dituntun oleh suara ibu yang memanggil-manggil namaku.
Beberapa saat kemudian,
aku kehilangan suara ibu. Jalanku semakin kencang. Menabrak-nabrak orang di depanku. Tak tahu arah.
Aku terus menyelip.
Berlari. Menangis.
Aku berhenti dan menghela napas.
Lalu aku menyadari sekarang berada
di depan kerumunan. Aku sekarang berada dekat dengan panggung.
Kemudian aku dihadang Kompeni berbadan besar dengan senjata panjang
di pelukannya. Aku mencoba berteriak memanggil nama ibu, tapi suaraku tenggelam oleh suara teriakkan
orang-orang.
Di sebelah kananku duduk
orang Padang yang memakai baju putih tadi. Ia terlihat sedang mengacung-acungkan jarinya membentuk sebuah angka.
Orang itu tidak penting bagiku.
Yang terpenting dimana ibu sekarang.
Darahku tersirap seketika.
Dari sela-sela badan Kompeni besar itu, aku melihat ibu sedang berada di atas panggung. Suara sorakan kerumunan tiba-tiba menghilang.
Ada lelaki yang memegang tangan ibu. Itu bukan Kompeni.
Itu Atuk. Di sebelah Atuk berdiri
orang Padang tadi. Cepat sekali orang Padang itu sampai di panggung, bisikku dalam hati.
Aku melihat mereka seperti sedang berbicara. Dadaku tiba-tiba sesak. Pandanganku mulai buram.
Aku berencana mengejar ibu ke atas panggung. Lalu kuhantam saja Kompeni
yang berada di depan. Tapi rencanaku itu sia-sia. Kompeni tadi memegang tanganku. Lalu ia mengangkatku. Hal terakhir yang kulihat adalah sebuah tangan besar tepat di depan mataku.
***
Suara pintu terbuka.
Cahaya langsung menyilaukan mataku. Kulihat Atuk datang.
Tidak membawa apa-apa.
“Kenapa belum tidur? Hari sudah malam,” Atuk mengelus kepalaku.
“Nah, Atuk cerita ya,
biar kamu bisa tidur.”
“Dulu, istri Atuk adalah wanita
yang paling Atuk cintai.
Tapi istri Atuk lebih dulu meninggalkan Atuk. Untung saja karena ibumu, Atuk mendapat banyak uang. Hahaha… Sekarang, Atuk sudah punya istri yang merawat dan mencintai Atuk. Atuk juga sudah punya anak. Rumah Atuk pun besar. Sebagai balasan Atuk kepada ibumu,
Atuk menjagamu dan merawatmu di sini…” Bulir-bulir
air mulai mengalir di
pipiku.
Tiba-tiba ada suara dari luar.
“Sayang ada orang mencarimu, dia bilang namanya Baharto, teman lamamu dari
Padang.”
“Ia, tunggu sebentar.”
Kemudian Atuk pergi meninggalkanku tanpa menyelesaikan ceritanya. Malam itu, aku melolong sejadi-jadinya.
Padang,
2014
Biodata Penulis:
Muhaimin
Nurrizqy, lahir di Padang 12 Oktober 1995. Mahasiswa Sastra
Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Bergiat di Cinemama.
0 comments:
Post a Comment