Cerpen Hakimah Rahmah Sari
SESEORANG berteriak, disahut teriakan lain yang lebih kencang. Tiba-tiba semua orang di ruangan itu berteriak pula. Seseorang menangis, disambut tangisan berikutnya yang makin panjang. Seluruh kepala di ruangan melongok ke sana ke mari. Tapi, aku tidak!
Seseorang menempelkan wajahnya di kaca jendela kelas. Matanya merah melotot, rambut awut-awutan, tidak mengenakan baju, hanya selecut kain yang menempel di bawah perut yang membuncit itu. Kulitnya berwarna cokelat, dekil, penuh koreng, dan panu di bagian punggung dan leher.
Semua mulai panik. Salah seorang anak perempuan yang duduk di tepi jendela terisak, gadis manis berkulit putih itu memicu keributan di kelas. Ia menangis, disambung oleh tangisan seorang anak laki-laki bermata sipit—anak yang sering diintai oleh lelaki itu—yang duduk di pojok belakang, tepat di balik jendela ketika Siman menempelkan wajahnya itu.
Kelas kami gempar. Ibu guru masuk ke ruangan, menutup pintu dan meminta untuk tetap di dalam kelas. Aku tenang-tenang saja.
Siman! Lagi-lagi dia.
Tak ada yang mau menyentuhnya, kecuali perempuan itu. Siman begitu kotor dan bau. Seorang perempuan tua datang ke sekolah, menggunakan tongkat. Siman ditarik perempuan itu. Ia begitu takut dan patuh pada si perempuan. Siman yang suka menggaruk-garuk badan dituntun ke rumahnya di samping sekolah. Suasana mulai tenang.
SEMUA orang sudah tahu, bahwa Siman adalah orang yang pintar. Ia orang tidak waras yang cerdas. Suatu pagi di hari Minggu, di bawah pohon belimbing di jalan beraspal, sebuah meja digelar. Ada yang menjual lontong di sana. Siman datang membawa wadah—membeli lontong. Seperti biasa, orang-orang menutup hidung jika ia lewat. Jarak antara rumahnya dengan jalan beraspal tak begitu jauh.
“Lihatlah, dengan apa dia membayarnya? Dasar bau! Ndak waras! Menjauhlah!” ujar seseorang.
“Hussh! Ayahnya itu pensiunan veteran. Pejuang! Orang yang dihormati dan disegani. Tentu ada dana yang cair setiap bulan,” timpal seorang perempuan tambun.
“Ya, ya! Dia punya uang. Hanya nasib malang saja. Lihatlah uda kandungnya, ndak waras pula. Kutukan apa itu? Padahal, dahulu dia orang jenius.”
“Kata mertua saya, dia diguna-guna sewaktu sekolah menengah atas, karena orang iri padanya dan pada uda-nya. Di kampung ini, Sipar satu-satunya orang dari kabupaten bahkan dari Kota Padang yang bisa kuliah di UI karena jenius. Namun, ya. Orang iri, ya, begitulah, diguna-guna. Bukannya kuliah, malah senewen, dan sekarang apa? Jadi agen barang-barang bekas! Miris!” imbuh wanita hamil yang duduk bersandar di bangku kayu.
“Ketika dia mencuri mangga muda, merusak bunga-bunga dan menyelipkannya di cuping telinga, serta menghidupkan lagu Meriam Belina dengan volume yang aduh, memekakkan telinga itu, ibunya yang pakai tongkat selalu saja membela. Anak saya sewaktu pulang sekolah, jika ada dia, pasti ketakutan. Ia suka mengejar anak-anak yang cantik dan ganteng. Ia akan menggendongnya sampai anak itu menangis,” lanjut perempuan lain yang juga buncit. Hamil tua.
Siman menyimak dengan saksama. Ia tersinggung—serupa orang waras—akan pembicaraan perempuan-perempuan itu.
“Hoi, kau semakin hari semakin cantik saja, tapi mulutmu serupa mulut orang bodoh, tidak berpendidikan, gila! Kasihan anak dalam kandungan itu. Meskipun badanku bau, namun hatiku tidak sebau ucapanmu,” tunjuk Siman pada kedua perempuan itu secara bergantian.
Semua terpana mendengar ucapan Siman. Mereka mafhum. Siman sedang waras saat itu. Atau, barangkali guna-guna tidak mangkus jika ia tersinggung. Entahlah!
BEBERAPA hari setelah peristiwa di sekolah itu, Siman yang umurnya berpaut lima tahun dengan umur ibuku, tak pernah muncul lagi untuk waktu yang lama. Ia hanya duduk-duduk di kursi depan rumahnya, seperti biasa, menghidupkan radio dengan volume tinggi. Menyetel siaran berita RRI, tertawa sendiri, dan menyeru setiap orang yang lewat. Aku ingat betul, sebab rumahku tak jauh dari rumahnya. Aku tak takut padanya. Ia orang yang baik dan pintar, kecuali setelah peristiwa itu.
Suatu hari, aku bermain ke rumah teman akrabku. Rumahnya sederhana. Halaman rumah itu ditanami bunga pukul empat, pisang-pisangan, bunga terompet yang menjalar-jalar di pagar. Siman sering mematahkan bunga-bungaan di sana dan membawanya pulang.
Di ruang tamu, ada mainan kupu-kupu plastik yang ditempel di kaca lemari. Siman memiliki hubungan darah dengan temanku, ia sesekali berkunjung ke sana, dan temanku membencinya. Aku melihat Siman yang setengah telanjang, sedang mengutip satu mainan kupu-kupu warna kuning kunyit dengan corak hitam yang ditempel di sisi kiri lemari. Ia tergagap ketika aku masuk ke sana, namun aku tak menegurnya dan terus ke belakang, menemui temanku. Aku bertemu ibunya, dan menyampaikan apa yang kulihat. Siman tahu itu! Deg! Aku gemetar. Ia komat-kamit. Mengancam akan membunuhku. Mencekikku. Liurku terasa mengental. Pandanganku kabur. Ia sedang tidak waras!
Akhirnya di suatu sore, sehabis mandi. Aku sedang di kamar, terdengar ribut-ribut di luar rumah.
“Hoi, Pin. Mana anakmu? Kubunuh! Akan kucekik! Pengadu! Jahat! Sally, di mana kau? Keluar! Kubunuh! Kucekik!” teriak Siman. Ia masuk ke rumah. Hilir-mudik dari ruang tamu ke dapur, mencari diriku. Dadaku berdetak cepat. Liurku mengental. Tubuhku gemetar. Mencari pintu. Bersembunyi. Mengintip dari segaris cahaya di celah-celah engsel pintu.
Ibu keluar. Marah. Mengusir Siman. Ia pergi setelah mengancam akan mencariku lagi.
Beberapa hari, aku bermain kucing-kucingan dengan Siman. Jika melihatnya aku akan lari terbirit-birit, bersembunyi. Sampai seminggu kemudian, ia pun lupa. Aku lega.
BERKALI-KALI aku memerhatikan Siman, sepengetahuannya ataupun tidak. Sepulang sekolah, sewaktu duduk-duduk di cabang-cabang beringin dengan teman sambil makan kuaci, seorang laki-laki mengenakan baju seragam putih abu-abu, dengan tas yang disampirkan di bahu kiri, berdiri di pinggir jalan beraspal. Kami bertanya-tanya. Siapa itu?
Siman! Itu Siman! Siman pulang sekolah? Atau Siman ingin pulang sekolah?
Temanku mengganggunya. Aku hanya duduk diam. Takut. Trauma. Teman laki-laki mengejeknya. Menyoraki dan melempar dengan buah beringin. Ia marah. Mengintai kami dari bawah. Komat-kamit. Hingga ibunya datang. Menuntunnya pulang.
Di lain waktu, Siman mengenakan baju ibunya, pergi ke batang air dekat jembatan, bagai penyanyi dangdut, menyanyi di sana. Lalu pulang. Mengganti baju, baju tentara, baju almarhum ayahnya. Bahkan ia pernah memakai mukena ibunya di suatu malam, berjalan di kuburan. Orang-orang menyangka kuntilanak, rupanya Siman. Ia mengenakan berbagai macam pakaian—barangkali ketika dia sedang waras, dia merasakan hidup berdasarkan cita-citanya, entahlah!
Orang-orang mengejek, namun ada juga yang memberi komentar baik. Jika ia perempuan, Siman akan memuji dan mengatakan “Wah, semakin hari kau semakin cantik saja.” Jika laki-laki, Siman akan memujinya pula.
Begitulah Siman. Siman yang malang. Sampai pada suatu ketika, saat aku tumbuh menjadi remaja, seusai menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas lalu sekolah ke kota lain. Kota yang dingin. Sesuatu hal yang buruk selalu menimpa Siman—orang yang sesuku denganku, mamak temanku itu.
Selama sekolah di kota lain itu, aku mendapat kabar bahwa Siman dibawa lagi ke rumah sakit jiwa di Gaduik. Sakitnya hilang-timbul. Sudah beberapa kali ia dirawat di sana. Namun kali ini, ketika aku sedang melanjutkan studi di kota yang berbeda, hal mengerikan itu terjadi lagi. Siman ingat bahwa ia akan membunuhku. Mencekikku!
Ia dinyatakan sembuh dan pulang ke rumah. Semua orang yang kenal dengan Siman terharu. Tapi tidak begitu lama. Sore hari, ketika aku lewat di depan rumahnya, ia mengikutiku dari belakang. Tak sedikit pun rasa khawatir muncul dalam diriku. Sampai di persimpangan jalan, sepasang tangan menempel di leherku dan mencekik. Tangannya begitu kuat. Aku megap-megap. Kewalahan. Tanganku menggapai-gapai. Terasa sakit. Seseorang berteriak. Memukul pundak Siman dengan arai pisang. Siman mengaum, marah. Ia tumbang. Berguling-guling. Mencakar tanah.
Aku menepi. Napasku tersengal. Orang-orang mulai berdatangan, seorang di antaranya memberiku minum. Aku menangis. Gemetar. Leherku panas. Rasa tercekik itu masih ada, bagai tertahan di sana. Aku ciut.
Kejadian itu membuat semua orang buncah, keluar dari rumah. Siman dipasung, padahal selama ini ia tidak pernah membahayakan orang. Ibunya tak ingin membawa Siman ke Gaduik lagi. Lelaki itu dipasung di rumah besarnya yang bau. Bau kotoran itik, buah-buahan busuk yang dikumpulkan Siman, onggokan kelapa, dan kayu-kayu mersik yang diangkutnya dari tepian danau dengan ibunya. Dua orang yang malang. Saudara-saudaranya pergi merantau, dan pulang dua kali sebulan. Tinggal mereka berdua beranak.
Siman dipasung, setelah mencekikku! Mamak-mamaknya memutuskan demikian. Siman meraung sepanjang malam. Merintih. Tertawa terbahak-bahak, merintih lagi, begitu sepanjang malam. Kaki dan tangannya terbelenggu.
AKU pulang, setelah cukup lama meninggalkan rumah. Banyak hal yang terlewatkan. Orang-orang yang tak kusangka meninggal begitu pagi, orang-orang yang selama ini dikenal baik tiba-tiba didatangi polisi tengah malam menerima surat panggilan. Semua berjalan begitu saja. Siman tetap saja dengan dunianya, dengan pribadinya.
Sampailah di suatu hari, ketika embun pagi masih bulat-bulat di ujung rumput; ketika matahari mulai mengintip, orang-orang di sekitar rumahku—dekat rumah Siman—berteriak. “Siman kabur. Hei, Siman kabur!” Semua gempar. Anak-anak yang berjalan menuju sekolah, terhenti, melihat Siman yang lari lambat-lambat menuju danau. Lihatlah, betapa kurusnya ia. Betapa lisutnya tubuh yang dahulunya gempal dan tegap itu. Oh, Tuhan! Siman yang malang.
Beberapa orang laki-laki dewasa—mamak-mamak Siman—berlari seraya membawa kain panjang dan selimut tebal. Membalut tubuh kurus Siman, merebahkan, dan mengangkutnya pulang. Ia berteriak minta tolong. Jarak antara aku dan Siman kira-kira hanya tiga meter. Mata itu. Mata yang memintaku. Memintaku untuk meloloskannya. Mata yang membuat air mataku menggenang dan jatuh.
Setiap pulang, aku selalu bertanya tentang Siman pada ibuku. Pulang di minggu terakhir bulan April ini, sesuatu memerihkan mataku. Cerita Ibu membuat ingatan tentang mata Siman berkelebatan. Mata yang meminta. Siman telah meninggal seminggu yang lalu. Betapa duka menangkap hatiku ketika Ibu menceritakan bahwa ia begitu lisut dan menyedihkan. Orang-orang hampir tidak mengenalinya.
Aroma minyak orang mati menyeruak menembus hidungku. Meresap ke pori-pori. Taburan-taburan bunga mawar ranum berserakan di pelupuk mata. Aku rindu Siman.
Seseorang berpakaian seragam putih abu-abu, dengan tas yang disampirkan di bahu kiri, berdiri di tepi jalan beraspal. Tubuhnya gempal dan tegap. Siman?
INS Kayutanam, Mei 2014
Biodata Penulis:
Hakimah Rahmah Sari, kelahiran 11 Januari 1994. Mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.
0 comments:
Post a Comment