Cerpen Dini Alvionita
Suasana
stasiun kereta api yang lengang dan agak menyeramkan. Pada pukul tiga dini
hari. Tak ada aktifitas yang berarti disudut kota ini. Di jalan maupun di
daerah gerbang kereta api. Hening. Tak ada lampu stasiun yang menerangi, tak
ada pula masinis penjaga piket stasiun kereta api dini hari ini.
Sesekali
si jelita berjalan di atas rel kereta api. Si jelita tak pernah takut akan
gelap. Si jelita tak juga hilang kendali saat berjalan di atas rel kereta api.
Dia berjalan dengan seimbang, tak sesekalipun jatuh. Begitupun dengan tujuan
utamanya, menunggu matahari terbit, tepat di stasiun kereta api yang masih
sepi, dan akan beranjak ramai pagi hari nanti.
Pada pukul tiga dini hari, adalah waktu yang
tepat bagi si jelita berdialog dengan pagi. Pagi yang akan datang dengan
segera. Si jelita duduk di kursi tunggu stasiun kereta api. Menunggu sesuatu
yang tak tentu kedatangannya. Si jelita duduk cukup lama di ruang tunggu di
stasiun kereta api. Sesekali dia melihat pada jam dinding besar stasiun, yang
tak kunjung berubah dengan cepat sesuai inginnya. Namun si jelita tak pernah
mempermasalahkan waktu. Dia selalu menunggu.
Ia
sedang menantikan si rupawan yang tak pernah berjanji untuk pulang. Seluruh
sudut kereta yang ia lihat hanya kegelapan, kesunyian bahkan suara aneh tak
pernah digubris sedikitpun oleh si jelita. Ia juga mendengar suara
rintik-rintik hujan yang kadang datang saat dini hari. Di sudut jalan ia
melihat lampu jalan yang masih terang menyala. Serta rintik-rintik hujan
terlihat begitu indah dalam cahaya. Si jelita penggila hujan dan lampu jalan.
Karena jika lampu jalan dan rintik hujan di padu-padankan akan membentuk suatu
keindahan. Keindahan bagi mata siapa saja yang memandang. Si jelita merasakan
kesegaran saat matahari belum terbit sempurna. Serta cahaya lampu jalan yang
terangnya masih sama.
Si
jelita tak pernah terganggu dengan hujan. Si jelita selalu berwajah cerah
menyambut hujan datang. Dengan tangan terbuka, kepala menengadah, lalu perlahan
si jelita menutup mata. Ia menikmati rintik-rintik yang jatuh pada permukaan
wajahnya. Hingga basah seluruh tubuhnya, ia tak kunjung mengeluarkan payung. Si
jelita tak pernah menggunakan payung ketika hujan. Si jelita si penggila hujan.
***
Walaupun
suasana stasiun yang selalu menyeramkan ketika tak ada cahaya pagi ataupun
siang hari, si jelita tetap setia menantikan si rupawan sejak dini hari. Ia
tetap pergi ke stasiun kereta setiap harinya tanpa terkecuali.
Saat
itu si jelita melihat si rupawan di dalam kereta api. Saat itu si jelita tidak
sedang dalam perjalanan kemanapun. Tapi si jelita memang sering naik kereta api
hanya untuk kesenangan pribadi saja. Ia duduk tepat di sebelah si rupawan. Mereka
saling berbincang, berbicara banyak hal. Tapi mereka tak saling berkenalan,
bertanya nama dan alamat, ataupun menanyakan kontak yang bisa dihubungi lagi
kemudian hari.
“Pagi
yang cerah ya, namun mengapa wajahmu tetap pucat saja? Setiap kali aku
melakukan perjalanan, kamu selalu duduk di sebelahku.” Si rupawan memulai
pembicaraan.
“Iya,
seharusnya pagi ini cerah untuk saya. Namun tak ada yang berbeda, semua pagi
sama saja, menakutkan” si jelita membalas percakapan.
“Bukan
pagi yang menakutkan, tapi kamu saja yang terlalu khawatir tentang pagi yang
cepat berpulang” ucap si rupawan melanjutkan.
“Tak
ada yang aku takutkan selain tak menikmati hari tanpa pagi. Aku tidak bisa.”
Si
rupawan terdiam sambil melihat pemandangan sekitar pada jendela kereta. Si
rupawan melihat ilalang-ilalang yang terbentang luas di pinggir jalan. Dengan
warna kuning keemasan. Indah, begitupun hal yang sama yang dilakukan oleh si
jelita. Mereka berbicara penuh dengan kata-kata dan makna yang rasanya sulit
dimengerti oleh pasangan lain. Tak seperti laki-laki dan perempuan biasanya,
mereka berbeda. Si jelita tetap berada di kereta saat perjalanan selesai. Ia
melihat si rupawan pergi bahkan hingga yang tertinggal punggung si rupawan yang
berbidang besar. Sampai menghilang, si jelita lalu turun dari kereta.
***
Ia menekan pena yang ia pegang lalu
menulis-nulis pada kertas kecil warna-warni kesukaannya. Ia menulis pesan
singkat yang tak akan pernah mungkin dibaca oleh si rupawan. Tentang malam dan
para jangkrik-jangkrik. Sungguh malam nyatanya tak pernah dipisahkan dengan
jangkrik. Sunguh malam yang nyatanya tak pernah hilang oleh bintang. Si jelita
terlalu bersahabat dengan malam, bahkan malampun kini punya sahabat sejati
seperti si jelita.
Jangkrik selalu saja mengajak bicara
si jelita. Jangkrik berbunyi seenak perut saja. Si jelita melihat pada
rerumputan di pinggiran jalan, ia mendengar suara jangkrik yang terus saja
berceloteh. Jangkrik-jangkrik mengajak si jelita berbicara karena memang tak
ada temannya untuk berbicara.
“hai jangkrik-jangkrik, tahukah
kalian jika kebanyakan hal yang paling indah dalam hidup memerlukan waktu yang
lama? Jangkrik-jangkrik tahukah kalian bahwa tak ada yang sia-sia?” awal si
jelita memulai percakapan dengan jangkrik yang cerewet.
Jangkrik
tetap dengan suaranya yang bising, namun indah bagi si jelita. Ia suka suasana
malam beserta jangkrik-jangkrik yang menemani.
Si jelita tak pernah takut akan kesendirian,
karena tak selamanya sendirian berarti kesepian begitu pikirnya. Si jelita
tetap menikmati kopi pada dini hari seperti biasanya, si jelita tetap menikmati
wafer cokelat setiap saat seperti biasanya. Tak ada yang berubah semenjak si
rupawan pamitan. Ia memang permisi pergi sebentar, katanya ia ingin
beristirahat sebentar. Walaupun si rupawan tak pernah berjanji untuk pulang. Si
rupawan hanya menyiapkan sesuatu untuk perbekalan.
Si
jelita dan si rupawan memang sedang melakukan perjalanan yang panjang, selama
perjalanan itu tak pernah mereka beristirahat walau hanya sebentar. Mereka
mencapai perjalanan dengan berlari, berlari yang sangat kencang, bahkan mereka
lupa membawa air masing-masing untuk perbekalan. Perjalanan panjang memang
melelahkan. Butuh ribuan peluh yang terbuang demi berkilo-kilo perjalanan.
Si
jelita dan si rupawan, yang nyatanya saling mengatakan tak akan ada yang saling
meninggalkan dibelakang. Bagaimanapun juga si jelita harus tetap percaya pada
si rupawan yang akan pulang dan datang menemuinya di stasiun kereta yang sama.
Si jelita telah menghitung berapa langkah berjalan di atas rel. Telah
menghitung langkah seberapa banyak jika itu dilakukan bersama si rupawan.
Si jelita yang setia menunggu di
stasiun kereta dengan termangu kesepian, dengan mata terbuka dan tetap terjaga,
bahkan ketika tak ada jadwal keberangkatan kereta. Pukul tiga dini hari menjadi
hal yang biasa jika si jelita tetap terjaga. Waktu memang banyak mengajarkan
hal tak pernah disampaikan oleh lisan.
Si
jelita tetap setia menunggu pagi, menunggu si rupawan datang dan kembali. Waktu
yang selalu mengajarkan arti kesabaran bagi si jelita dan penghargaan bagi
siapapun yang mampu menunggu dengan waktu yang lama.
Si
jelita menukarkan waktu yang hilang dan terbuang karena menunggu si rupawan
dengan menulis. Menulis kisah panjang tentang si jelita dan si rupawan. Stasiun
kereta, lampu jalan, dan dini hari beserta jangkrik menjadi topik utama
ceritanya.
Walaupun
hingga saat hujan yang membasahi seluruh permukaan badan. Si jelita tetap saja
menunggu si rupawan tanpa sedikitpun keraguan.
Tak
peduli berapa lama si jelita menunggu. Betapapun itu si jelita tetap akan
menunggu si rupawan.
Arti
kata penantian sebenarnya tak harus dibalas dengan pertemuan. karena yang ia tahu setiap detik ia bertemu dengan si
rupawan. Meski tak bertatap muka, tak ada tegur sapa, dan tak sedikitpun kata terucap, si jelita menemui
si rupawan dihamparan ilalang kehidupan yang kuning keemasan. Di balik jendela
kereta, si jelita dan si rupawan saling berbincang di hamparan ilalang yang
kuning keemasan.
Si
jelita mengitari sepanjang jalan, yang
ia temui ilalang-ilalang malang menanti tangan datang untuk
menyentuhnya, serta dicabut dari akarnya, lalu di lepas ke udara. Dalam
senggang waktu itu si jelita menemui si rupawan di ujung jalan. Yang ia tahu sudut mata si rupawan teduh
menyapanya, dan menatapnya dalam-dalam. Lalu si rupawan menceritakan keadaan
dihari-harinya.
“Kemarin
telah berapa abad berlalu namun serta merta kamu tetap hadir dalam nyataku. Aku
tak pernah memimpikanmu, karena tak ada ragu yang singgah ataupun sekedar lewat
dalam hatiku. Aku akan kembali, jelita. Hanya tunggu sebentar saja”
“Sudah
kukatakan, berapa abad lagi yang kamu perlukan untuk menemuiku. Harusnya kamu
tak perlu takut aku mencari ilalang-ilalang lain yang menyapaku dengan kuning
keemasan. Serta mencari-cari apa lagi yang kamu tunggu, sementara aku tetap
setia pada ilalang yang kuning keemasan ini. Mengitarinya tanpa ragu dan senang
selalu. Sebingkai senyum nyatanya tetap hadir dalam wajahku, rupawan cepatlah
kembali”
“Lihatlah
pada kedua bola mataku, mencapai titik bulat penuh melihat kedua bola matamu.
Meski hanya bayangan namun ini bukan mimpi. Lihatlah, lihatlah keagunggan cinta
yang diberiNya kepada kita. Haruskah kita siasia kan? Kita hanya menupang di
dunia ini. Suatu hari nanti kita akan pergi, pergi bersama perjalanan yang
lain. Perjalanan yang mungin lebih ekstrim dari ini, jelita. Jangan takut”
“Aku
tahu kamupun ragu jika aku menunggu terlalu lama disini. Tidak, tidak perlu kamu
tanyakan lagi apa yang tak harus dipertanyakan. Lihatlah pada mataku yang
coklat kelam, lihat pada mataku yang berbicara. Berbinar tanpa kamu tahu arti
mataku berbicara”.
“Aku
tahu. Si jelita, tetaplah menjadi jelita. Biarkan aku berjalan sebentar lagi.
Tunggu aku di persimpangan”
“Berjalanlah
walau dekat ataupun jauh, walau sebentar
ataupun lama, aku tetap menunggu. Si rupawan tetaplah menjadi rupawan. Sampai
bertemu lagi dipersimpangan”
Bahkan
si jelita masih tidak percaya jika.
Kereta
si rupawan tak kunjung juga datang, bahkan satu abad kemudian.
Padang, 10
November
Tentang Penulis :
Dini Alvionita merupakan mahasiswi jurusan Sastra Jepang di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Giat menulis cerpen. Aktif di Labor Penulisan Kreatif.
0 comments:
Post a Comment