Tuesday, November 18, 2014

Bahkan Satu Abad Kemudian

Cerpen Dini Alvionita

Suasana stasiun kereta api yang lengang dan agak menyeramkan. Pada pukul tiga dini hari. Tak ada aktifitas yang berarti disudut kota ini. Di jalan maupun di daerah gerbang kereta api. Hening. Tak ada lampu stasiun yang menerangi, tak ada pula masinis penjaga piket stasiun kereta api dini hari ini.
Sesekali si jelita berjalan di atas rel kereta api. Si jelita tak pernah takut akan gelap. Si jelita tak juga hilang kendali saat berjalan di atas rel kereta api. Dia berjalan dengan seimbang, tak sesekalipun jatuh. Begitupun dengan tujuan utamanya, menunggu matahari terbit, tepat di stasiun kereta api yang masih sepi, dan akan beranjak ramai pagi hari nanti.
 Pada pukul tiga dini hari, adalah waktu yang tepat bagi si jelita berdialog dengan pagi. Pagi yang akan datang dengan segera. Si jelita duduk di kursi tunggu stasiun kereta api. Menunggu sesuatu yang tak tentu kedatangannya. Si jelita duduk cukup lama di ruang tunggu di stasiun kereta api. Sesekali dia melihat pada jam dinding besar stasiun, yang tak kunjung berubah dengan cepat sesuai inginnya. Namun si jelita tak pernah mempermasalahkan waktu. Dia selalu menunggu.  
Ia sedang menantikan si rupawan yang tak pernah berjanji untuk pulang. Seluruh sudut kereta yang ia lihat hanya kegelapan, kesunyian bahkan suara aneh tak pernah digubris sedikitpun oleh si jelita. Ia juga mendengar suara rintik-rintik hujan yang kadang datang saat dini hari. Di sudut jalan ia melihat lampu jalan yang masih terang menyala. Serta rintik-rintik hujan terlihat begitu indah dalam cahaya. Si jelita penggila hujan dan lampu jalan. Karena jika lampu jalan dan rintik hujan di padu-padankan akan membentuk suatu keindahan. Keindahan bagi mata siapa saja yang memandang. Si jelita merasakan kesegaran saat matahari belum terbit sempurna. Serta cahaya lampu jalan yang terangnya masih sama.
Si jelita tak pernah terganggu dengan hujan. Si jelita selalu berwajah cerah menyambut hujan datang. Dengan tangan terbuka, kepala menengadah, lalu perlahan si jelita menutup mata. Ia menikmati rintik-rintik yang jatuh pada permukaan wajahnya. Hingga basah seluruh tubuhnya, ia tak kunjung mengeluarkan payung. Si jelita tak pernah menggunakan payung ketika hujan. Si jelita si penggila hujan.
                                                         ***
Walaupun suasana stasiun yang selalu menyeramkan ketika tak ada cahaya pagi ataupun siang hari, si jelita tetap setia menantikan si rupawan sejak dini hari. Ia tetap pergi ke stasiun kereta setiap harinya tanpa terkecuali.
Saat itu si jelita melihat si rupawan di dalam kereta api. Saat itu si jelita tidak sedang dalam perjalanan kemanapun. Tapi si jelita memang sering naik kereta api hanya untuk kesenangan pribadi saja. Ia duduk tepat di sebelah si rupawan. Mereka saling berbincang, berbicara banyak hal. Tapi mereka tak saling berkenalan, bertanya nama dan alamat, ataupun menanyakan kontak yang bisa dihubungi lagi kemudian hari.
“Pagi yang cerah ya, namun mengapa wajahmu tetap pucat saja? Setiap kali aku melakukan perjalanan, kamu selalu duduk di sebelahku.” Si rupawan memulai pembicaraan.
“Iya, seharusnya pagi ini cerah untuk saya. Namun tak ada yang berbeda, semua pagi sama saja, menakutkan” si jelita membalas percakapan.
“Bukan pagi yang menakutkan, tapi kamu saja yang terlalu khawatir tentang pagi yang cepat berpulang” ucap si rupawan melanjutkan.
“Tak ada yang aku takutkan selain tak menikmati hari tanpa pagi. Aku tidak bisa.”
Si rupawan terdiam sambil melihat pemandangan sekitar pada jendela kereta. Si rupawan melihat ilalang-ilalang yang terbentang luas di pinggir jalan. Dengan warna kuning keemasan. Indah, begitupun hal yang sama yang dilakukan oleh si jelita. Mereka berbicara penuh dengan kata-kata dan makna yang rasanya sulit dimengerti oleh pasangan lain. Tak seperti laki-laki dan perempuan biasanya, mereka berbeda. Si jelita tetap berada di kereta saat perjalanan selesai. Ia melihat si rupawan pergi bahkan hingga yang tertinggal punggung si rupawan yang berbidang besar. Sampai menghilang, si jelita lalu turun dari kereta. 

***
            Ia menekan pena yang ia pegang lalu menulis-nulis pada kertas kecil warna-warni kesukaannya. Ia menulis pesan singkat yang tak akan pernah mungkin dibaca oleh si rupawan. Tentang malam dan para jangkrik-jangkrik. Sungguh malam nyatanya tak pernah dipisahkan dengan jangkrik. Sunguh malam yang nyatanya tak pernah hilang oleh bintang. Si jelita terlalu bersahabat dengan malam, bahkan malampun kini punya sahabat sejati seperti si jelita.
            Jangkrik selalu saja mengajak bicara si jelita. Jangkrik berbunyi seenak perut saja. Si jelita melihat pada rerumputan di pinggiran jalan, ia mendengar suara jangkrik yang terus saja berceloteh. Jangkrik-jangkrik mengajak si jelita berbicara karena memang tak ada temannya untuk berbicara.

            “hai jangkrik-jangkrik, tahukah kalian jika kebanyakan hal yang paling indah dalam hidup memerlukan waktu yang lama? Jangkrik-jangkrik tahukah kalian bahwa tak ada yang sia-sia?” awal si jelita memulai percakapan dengan jangkrik yang cerewet.
Jangkrik tetap dengan suaranya yang bising, namun indah bagi si jelita. Ia suka suasana malam beserta jangkrik-jangkrik yang menemani.
            Si jelita tak pernah takut akan kesendirian, karena tak selamanya sendirian berarti kesepian begitu pikirnya. Si jelita tetap menikmati kopi pada dini hari seperti biasanya, si jelita tetap menikmati wafer cokelat setiap saat seperti biasanya. Tak ada yang berubah semenjak si rupawan pamitan. Ia memang permisi pergi sebentar, katanya ia ingin beristirahat sebentar. Walaupun si rupawan tak pernah berjanji untuk pulang. Si rupawan hanya menyiapkan sesuatu untuk perbekalan.
Si jelita dan si rupawan memang sedang melakukan perjalanan yang panjang, selama perjalanan itu tak pernah mereka beristirahat walau hanya sebentar. Mereka mencapai perjalanan dengan berlari, berlari yang sangat kencang, bahkan mereka lupa membawa air masing-masing untuk perbekalan. Perjalanan panjang memang melelahkan. Butuh ribuan peluh yang terbuang demi berkilo-kilo perjalanan.
Si jelita dan si rupawan, yang nyatanya saling mengatakan tak akan ada yang saling meninggalkan dibelakang. Bagaimanapun juga si jelita harus tetap percaya pada si rupawan yang akan pulang dan datang menemuinya di stasiun kereta yang sama. Si jelita telah menghitung berapa langkah berjalan di atas rel. Telah menghitung langkah seberapa banyak jika itu dilakukan bersama si rupawan.
            Si jelita yang setia menunggu di stasiun kereta dengan termangu kesepian, dengan mata terbuka dan tetap terjaga, bahkan ketika tak ada jadwal keberangkatan kereta. Pukul tiga dini hari menjadi hal yang biasa jika si jelita tetap terjaga. Waktu memang banyak mengajarkan hal tak pernah disampaikan oleh lisan.
Si jelita tetap setia menunggu pagi, menunggu si rupawan datang dan kembali. Waktu yang selalu mengajarkan arti kesabaran bagi si jelita dan penghargaan bagi siapapun yang mampu menunggu dengan waktu yang lama.
Si jelita menukarkan waktu yang hilang dan terbuang karena menunggu si rupawan dengan menulis. Menulis kisah panjang tentang si jelita dan si rupawan. Stasiun kereta, lampu jalan, dan dini hari beserta jangkrik menjadi topik utama ceritanya.
Walaupun hingga saat hujan yang membasahi seluruh permukaan badan. Si jelita tetap saja menunggu si rupawan tanpa sedikitpun keraguan.
Tak peduli berapa lama si jelita menunggu. Betapapun itu si jelita tetap akan menunggu si rupawan.
Arti kata penantian sebenarnya tak harus dibalas dengan pertemuan.  karena yang ia  tahu setiap detik ia bertemu dengan si rupawan. Meski tak bertatap muka, tak ada tegur sapa, dan  tak sedikitpun kata terucap, si jelita menemui si rupawan dihamparan ilalang kehidupan yang kuning keemasan. Di balik jendela kereta, si jelita dan si rupawan saling berbincang di hamparan ilalang yang kuning keemasan.
Si jelita mengitari sepanjang jalan, yang  ia temui ilalang-ilalang malang menanti tangan datang untuk menyentuhnya, serta dicabut dari akarnya, lalu di lepas ke udara. Dalam senggang waktu itu si jelita menemui si rupawan di ujung jalan. Yang  ia tahu sudut mata si rupawan teduh menyapanya, dan menatapnya dalam-dalam. Lalu si rupawan menceritakan keadaan dihari-harinya.

“Kemarin telah berapa abad berlalu namun serta merta kamu tetap hadir dalam nyataku. Aku tak pernah memimpikanmu, karena tak ada ragu yang singgah ataupun sekedar lewat dalam hatiku. Aku akan kembali, jelita. Hanya tunggu sebentar saja”

“Sudah kukatakan, berapa abad lagi yang kamu perlukan untuk menemuiku. Harusnya kamu tak perlu takut aku mencari ilalang-ilalang lain yang menyapaku dengan kuning keemasan. Serta mencari-cari apa lagi yang kamu tunggu, sementara aku tetap setia pada ilalang yang kuning keemasan ini. Mengitarinya tanpa ragu dan senang selalu. Sebingkai senyum nyatanya tetap hadir dalam wajahku, rupawan cepatlah kembali”

“Lihatlah pada kedua bola mataku, mencapai titik bulat penuh melihat kedua bola matamu. Meski hanya bayangan namun ini bukan mimpi. Lihatlah, lihatlah keagunggan cinta yang diberiNya kepada kita. Haruskah kita siasia kan? Kita hanya menupang di dunia ini. Suatu hari nanti kita akan pergi, pergi bersama perjalanan yang lain. Perjalanan yang mungin lebih ekstrim dari ini, jelita. Jangan takut”

“Aku tahu kamupun ragu jika aku menunggu terlalu lama disini. Tidak, tidak perlu kamu tanyakan lagi apa yang tak harus dipertanyakan. Lihatlah pada mataku yang coklat kelam, lihat pada mataku yang berbicara. Berbinar tanpa kamu tahu arti mataku berbicara”.

“Aku tahu. Si jelita, tetaplah menjadi jelita. Biarkan aku berjalan sebentar lagi. Tunggu aku di persimpangan”

“Berjalanlah walau dekat ataupun jauh,  walau sebentar ataupun lama, aku tetap menunggu. Si rupawan tetaplah menjadi rupawan. Sampai bertemu lagi dipersimpangan”
Bahkan si jelita masih tidak percaya jika.
Kereta si rupawan tak kunjung juga datang, bahkan satu abad kemudian.

Padang, 10 November
 Tentang Penulis :
Dini Alvionita merupakan mahasiswi jurusan Sastra Jepang di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Giat menulis cerpen. Aktif di Labor Penulisan Kreatif.

0 comments:

Post a Comment