Biar ke Lubuk Dalam
ke lubuk dalam bawalah daku, tuan
meski tubuh pecah, meski jantung hilang gairah
meski hilang segala tuah dalam darah.
aku ingin ke lubuk, menyelam untuk tenggelam sampai
ke ceruk paling dasar, lesap sampai ke suntuk paling pangkal.
biar tak terdengar lagi dendang, biar
tak tersentuh lagi pulang
dan hari-hari akan jadi cerita lain dari
si gadih rumah gadang yang senantiasa gamang
—di kamar kepayang, di sumur mambang, di
janjang aku sumbang.
sebab tak ada siapa, bakal menanam dengus di ulu jantung
tak akan dikenang lagi untung badan yang terlanjur murung
siapa bakal pengobat tubuh nan jauh digulung tenung?
sebab tuan serindu hikayat, tempat kisah-kisah
terkenang hikmat,
sebab malu di jantung belum sampai tersemat.
duhai ke lubuk dalam bawalah daku, oi, tuan
sungguh mimpi-mimpiku senantiasa angin menggebubu
di retak tulang paru
dan tuan, jalan pulang dingin dan gemetar bagi badan,
akulah si gadis kasmaran terlupa hulu.
(01/02/2014)
Perihal Kepulangan
mengukur jarak dari simpang ke simpang
meretas ingatan yang dibawa hujan-hujan.
alpa hanya langgam tualang,
merawat rindu di jantung paling hulu
sebagai gairah, tertahan di alir darah.
diam-diam ada yang beku dalam dada
jadi batu, jadi suara yang tabah bagi kami
si tualang merindu tuah.
namun rindu hanyalah setali sumbang di langkah:
ingin berjalan di depan, sekaligus demam akan
tuah di jalan silam.
kepulangan, adalah doa-doa yang tak pandai
menengadahkan tangan.
(Padang, 05/02/2014)
Merawat Rumah
dalam jantungku, sebuah rumah didirikan ibu
dulu kala kecil, hari tak pernah bisa ditebak jalannya
panas berdengkang, hujan tiba-tiba amuk membahana.
“siapa yang tahu untung, siapa tahu pecah di jantung,
meski kau, si hebat tenung!” ibu senantiasa mengingatkan
dengan raut muka tajam, seolah benar sesuatu
sedang mengancam.
sepanjang hari, sepanjang bulan serta di sengkarut tahun
aku merawat rumah itu. menyapu lantai, mengibas debu
di dinding, sesekali menganti daun jendela yang lapuk, atau
patah, entah sebab apa.
hingga aku tumbuh dewasa, kini sedikit tua. musim
telah mapan: hujan jatuh pada waktunya, sebagaimana panas
datang sesuai sangka. namun entah mengapa aku selalu
ingin sering-sering masuk ke rumah itu, sesekali tertidur pulas
di dalamnya.
setiap tahun, aku mendapati tiang-tiangnya berlubang, selalu
ada daun pintu yang rusak atau patah, hingga aku harus terus
bekerja keras memperbaikinya, merawat kenang-kenang
yang tersisa.
dan sesekali jika mumpung, aku memergoki seseorang
mematah dan mencabut kayu-kayu di dindingnya.
(02/02/2014)
Bangkai Pohon Pisang
di tebing basah tepi sungai
aku setia mengeja setiap napas
dalam waktu
menyambang
menunggu tiba masa
sebait kabar tentang asal
tersangkut di akar
dedaun busuk, atau
pada sanggul-sangul lumut
di dasar
hanya menunggu hujan,
agar arus lebih tajam
dan sejenak
tubuhku sampan
melawat jalan
aku menunggu
lagu rumpun datang
memberi nama membubuh mantra
di tubuhku yang rindu gigil hulu
(Kampung Irigasi, 2013)
Jam Empat Petang
jam empat petang dalam kulah
udara mengidap surga
jantung pecah, berserak di sela
bayang fatamorgana
satu jam tiga puluh menit napasku air
dan lumut-lumut kecil di dasar
tempurung kepalaku retak
menyeruak sampai denyut pangkal
ada titik darah pada kepak
kupu-kupu tua merayap di permukaan
darah dalam usus melesap
mengairi anus
elang jantan berkokok di kejauhan
kepada angin kepada mendung setengah
di sudut langit merah
dengusku menguap, memburu di getar
halimun kiriman peneluh negeri jauh
jam empat petang dalam kulah
Tuhan di sebalik dinding rumah
tubuhku sulah
firman-firman tak kunjung sudah
(Padang, Januari 2014)
Tentang Penulis :
Andesta Herli, Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas. Bergiat di Teater Langkah.
0 comments:
Post a Comment