Tuesday, November 18, 2014

Ibu dan Kematian

Cerpen: Khairy Ra’if Thaib

Aku masih ingat bagaimana peistiwa terjadi. Hari itu adalah hari pertamaku masuk Sekolah Dasar. Suara gemerisik dedaunan dan kicauan burung-burung masih terdengar di luar. Ketika itu aku dan kakak perempuanku sedang mandi di kamar mandi. Kami memang sering mandi bersama. Apalagi di saat-saat bahagia seperti ini. Aku berteriak girang. Betapa bahagianya hari ini. Aku akan memakai seragam merah-putih, dasi yang menggantung di leher, juga topi di atas kepala.
Ibu akan mengantarku ke sekolah. Ia pegang erat tanganku dan kami berjalan ke sekolah. Di tengah perjalanan aku akan melompat-lompat girang. Aku melihat banyaknya anak yang lebih tua dariku berjalan beriring-iringan. Dari mulut mereka akan keluar cerita-cerita selama liburan. Mungkin tentang jalan-jalan ke kebun binatang, menggembalakan kerbau, atau main robot-robotan. Mereka menatapku seakan berkata, “Ini pasti anak kelas satu. Ia masih diantar ibunya.”  Tapi aku tak peduli. Aku terus saja menggenggam tangan ibu. Biarlah orang-orang berkata apa, yang jelas hari ini aku sudah jadi anak SD.
Di depan rumah Mak Tuo, mungkin aku bertemu dengan Pak Adang. Pak Adang sedang menunggu ojek. Ia mau pergi ke ladang.
“Eh Ijon, sudah SD sekarang ya.” Mungkin begitu kata Mak Pak Adang sambil mengusap kepalaku.
“Iya, Ijon mau jadi guru. Nanti Ijon mengajar seperti Mak Tuo.”
“Oh, ya. Mak Tuo sudah pergi sekolah sejak tadi.”
Kemudian Pak Adang akan merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang ribuan.
“Ini untuk jajan di sekolah,” katanya seraya menyerahkan uang itu padaku.
Aku menyambut pemberiannya dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Lalu ibu juga mengucapkan terima kasih padanya. Kemudian kami kembali melanjutkan perjalanan.
 “Ibu kemana? Sedari tadi tidak tampak.” Lamunanku dibuyarkan oleh pertanyaan kakak.
“Mungkin sedang bersiap-siap,” kataku sekenanya. “Nanti aku ke sekolah diantar Ibu. Kakak pergi sendiri,” tambahku seraya memonyongkan mulut ke arah kakak.
“Pergilah. Aku pergi sama si Peli.”
“Nanti aku akan bertemu Pak Adang di jalan. Dan dikasihnya aku uang belanja.”
“Pak Adang sudah ke ladang Shubuh tadi.”
“Dari mana Kakak tahu?
“Ya, biasanya seperti itu.”
Kakak mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Memasang handuk itu ke badannya. Mengeratkannya. “Jangan terlalu lama mandi,” katanya sambil melangkah ke luar kamar mandi.
Aku mempercepat gerakan. Menyiramkan air pada tubuh yang bersabun. Lalu menggosok badan, tangan, kaki, dan kepala. Setelah itu mengambil handuk. Mengeringkan badan. Dan melilitkan handuk pada tubuh.
Dengan tubuh yang bau sabun aku berlari ke kamar. Mengambil pakaian sekolah yang baru dibeli ibu minggu lalu. Lalu memakainya. Bau baju yang harum menambah semangatku pagi ini.
Aku menghampiri kakak yang ketika itu berada di depan cermin. Kakak sedang melihat wajahnya. Menyisir rambut. Kemudian mengoleskan bedak tipis pada mukanya. “Ijon mau berbedak?” katanya padaku.
“Tidak. Bedakkan hanya untuk perempuan. Ijon laki-laki.”
Kakak menuangkan bedak ke tangannya. Ia putar badannya sehingga aku dan dia berhadap-hadapan. Ia oleskan bedak itu ke mukaku. Aku menarik kepala. Tapi telah terlambat. Bedak itu telah menempel di mukaku. Aku lihat di depan cermin. Ternyata mukaku telah tampak belang. Aku terpaksa merapikannya. Sekarang mukaku kelihatan lebih putih  daripada biasanya.
“Gagah Ijon kalau seperti itu,” kata kakak dengan sedikit menertawaiku.
“Tidak juga,” balasku dengan agak kesal.
“Ibu kok belum tampak?” tanyaku dengan memperhatikan ruang tamu.
“Tidak tahu. Mungkin sedang keluar.”
“Ayah juga tak ada.”
“Mungkin pergi dengan Ibu.”
Kakak memasukkan beberapa buku pelajarannya ke dalam tas.
“Kakak mau pergi sekolah duluan. Ijon mau ikut atau masih mau diantar Ibu?”
“Ijon pergi sama Ibu saja.”
Kakak kemudian menyandang tas dan memasang sepatu. Ia melangkahkan kaki pergi sekolah. Sekarang aku tinggal sendiri. Aku menunggu ibu. Kalau ibu sudah datang aku sudah siap berangkat sekolah. Sepatu sudah kupasang. Tas pun telah kuisi buku-buku. Aku siap berangkat. Hanya tinggal menunggu ibu.
Aku melihat ke arah luar. Ternyata itu bukan ibu. Itu ayah, kakak, dan beberapa tetangga: Pak Naih, Tek Liaih, Tek Deh, dan Da Poyok. Mereka menuju ke rumah. Tampang ayah kulihat sangat kusam. Matanya merah seperti habis menangis.
“Ayah, Ibu mana?” tanyaku ketika ayah telah sampai di teras rumah.
 Ayah langsung merangkulku. Mengajakku ke belakang.
Di dapur, tepatnya di atas sumur, kulihat ibu di sana. Lelernya dililit tali yang tergantung pada katrol. Lidahnya terjulur ke luar. Matanya nyalang. Kakinya hanya menginjak udara. Kakak yang berada di sampingku menangis. Ayah juga. Begitu pun dengan tetangga kami. Ayah memeluk kakak. Membelai rambutnya. Dan menyeka airmata pada pipinya.
“Bu, Ijon mau sekolah,” kataku pada Ibu. Tapi ibu diam saja.
“Ibu cepatlah. Nanti Ijon terlambat.” Ibu tetap diam.
Aku memegang kaki ibu dan menarik–nariknya. Tek Liaih memegang tanganku. “Sudahlah. Jangan!” katanya seraya menarikku ke ruang tengah.
“Tek, Ibu tak mau mengantar Ijon.” Aku melepaskan tanganku dari tangan Tek Liaih.
“Ijon tak usah sekolah hari ini.”
“Tapi Ijon harus sekolah. Ijon ingin jadi guru.”
Tek Liaih memegang erat tubuhku dan menarikku. Aku tak dapat melepaskan diri darinya. Kakak kulihat masih menangis di pangkuan ayah. Aku menghampiri kakak. Menarik tangannya, “Ayo kita berangkat sekolah! Ibu tak mau mengantar Ijon.”
Kakak tak menjawab. Ia terus saja menangis. “Ayo!” kataku sambil menarik tangannya lagi.
“Ibu sudah meninggal Jon.” kata kakak dengan suara yang dicampur isak tangis.
“Ibu tidak meninggal. Ibu hanya tak mau mengantar Ijon.”
Rumah dipenuhi isak tangis. Waktu itu aku belum mengerti kenapa orang-orang menangis. Ibu telah meninggal dengan jalan bunuh diri. Aku tak tahu kenapa ia bisa seperti itu. Ibu memang menderita penyakit asma. Dan pada hari-hari terakhir kehidupannya penyakit asmanya semakin parah. Mungkin ia tak sanggup lagi menanggung. Selama ini ia telah berobat ke banyak tempat. Tapi penyakitnya tak pernah sembuh. Ia mungkin putus asa. Tapi kenapa ia bisa seperti itu. Ia juga bukan seorang yang kurang ilmu agama. Ia sering mengikuti pengajian dan hobi membaca buku agama. Ia tentu telah tahu akibat dari perbuatannya.
Setelah ibu meninggal ayah membawa aku dan kakak untuk pindah ke kota. Di kota itu ayah bekerja sebagai pegawai di sebuah perusahaan swasta. Gaji ayah cukup besar sehingga kami bisa hidup sejahtera. Seperti anak kota yang lain, aku dan kakak sekolah di tempat yang bagus. Sepulang sekolah kami mengikuti les bahasa Ingris dan komputer. Kami tumbuh menjadi anak yang pandai dan cerdas.
Di rumah kami hanya tinggal bertiga dengan ayah. Ayah memang belum beristri lagi setelah ibu. Ayah tampaknya takut mempunyai istri. Entah karena banyaknya berita di televisi yang mengatakan kalau ibu tiri tidak baik untuk anak, atau karena ayah tak mau mengalami nasib yang sama ke dua kalinya: ditinggal mati oleh istrinya. Aku tak tahu.
Walaupun demikian ayah tetaplah ayah kami. Ayah bisa membahagiakan kami walaupun ibu tidak ada. Ayah bisa menjadi ayah dan ibu sekaligus bagi kami.
***
Sudah sepuluh tahun aku tidak bertemu dengan kakak. Kakak sudah bersuami dan punya dua orang anak. Saat ini ia tinggal di Amerika. Sejak kematian ayah sepuluh tahun yang lalu aku pergi ke luar negeri. Menggembara dari negeri yang satu ke negeri yang lain. Akhirnya aku terhenti di Paris. Di puncak menara Eiffel aku memandang dunia yang luas. Aku tak sanggup lagi untuk melangkah ke negeri mana pun. Apalagi ke kampung halaman.
Sebenarnya aku sangat ingin pulang kampung. Bertemu sanak-famili dan melihat perkembangan kampung. Tapi rasanya aku tak sanggup untuk kembali. Dalam kepalaku berkeliaran perasaan entah apa: rindu, gelisah, sedih, marah, duka, dan apa lagi namanya. Di detik-detik terakhir kepergiannya ayah pernah berkata,”Maafkan Ayah ya Nak. Sebenarnya Ayahlah yang membunuh Ibu. Ayah menggantungnya di atas sumur supaya ia tak pernah lagi merasakan sakit. Pagi itu Ibu batuk keras dan nafasnya sangat sesak. Ayah juga tak sanggup melihat Ibu seperti itu terus. Akhirnya Ayah lilitkan saja tali beruk di lehernya. Mudah-mudahan ia tak menderita lagi. Semoga ia berada di tempat yang mulia di sisi-Nya.” Setelah itu ayah menghembuskan nafas terakhirnya.
Aku tak tahu apakah ayah serius mengatakan itu atau hanya bercanda. Kalau memang benar ayah yang membunuh ibu, kenapa ayah mau melakukannya. Apakah karena ayah tak sanggup membiayai pengobatan ibu, atau ayah tak tahan hidup dengan ibu. Entahlah.
Sejak kejadian itu aku tak mau lagi bertemu siapa-siapa. Aku tak mau bertemu kakak dan sanak-famili yang lain. Aku juga tak mau bertemu masyarakat kampung yang mengenalku.
Tapi bagaimanapun aku tak bisa melupakan peristiwa itu. Aku juga tak bisa menceritakannya pada orang lain, termasuk kakak. Aku tak ingin kakak mengetahuinya walaupun peristiwa itu bisa dikatakan benar. Benar bahwa ayahlah yang membunuh ibu. Aku tak ingin seorang pun tahu akan peristiwa itu. (*)


TENTANG PENULIS
Khairy Ra’if Thaib lahir di Nagari Kapalo Hilalang, Padang Pariaman, Sumatra Barat, 18 Desember 1993. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Unand berkegiatan di LPK (Labor Penulisan Kreatif) dan Lembaga Kebudayaan Ranah.

0 comments:

Post a Comment