Cerpen: Khairy Ra’if Thaib
Aku masih ingat bagaimana peistiwa terjadi. Hari itu
adalah hari pertamaku masuk Sekolah Dasar. Suara gemerisik dedaunan dan kicauan
burung-burung masih terdengar di luar. Ketika itu aku dan kakak perempuanku
sedang mandi di kamar mandi. Kami memang sering mandi bersama. Apalagi di
saat-saat bahagia seperti ini. Aku berteriak girang. Betapa bahagianya hari ini.
Aku akan memakai seragam merah-putih, dasi yang menggantung di leher, juga topi
di atas kepala.
Ibu akan mengantarku ke sekolah. Ia pegang erat tanganku
dan kami berjalan ke sekolah. Di tengah perjalanan aku akan melompat-lompat
girang. Aku melihat banyaknya anak yang lebih tua dariku berjalan
beriring-iringan. Dari mulut mereka akan keluar cerita-cerita selama liburan.
Mungkin tentang jalan-jalan ke kebun binatang, menggembalakan kerbau, atau main
robot-robotan. Mereka menatapku seakan berkata, “Ini pasti anak kelas satu. Ia
masih diantar ibunya.” Tapi aku tak
peduli. Aku terus saja menggenggam tangan ibu. Biarlah orang-orang berkata apa,
yang jelas hari ini aku sudah jadi anak SD.
Di depan rumah Mak Tuo, mungkin aku bertemu dengan Pak
Adang. Pak Adang sedang menunggu ojek. Ia mau pergi ke ladang.
“Eh Ijon, sudah SD sekarang ya.” Mungkin begitu kata
Mak Pak Adang sambil mengusap kepalaku.
“Iya, Ijon mau jadi guru. Nanti Ijon mengajar seperti
Mak Tuo.”
“Oh, ya. Mak Tuo sudah pergi sekolah sejak tadi.”
Kemudian Pak Adang akan merogoh sakunya dan
mengeluarkan beberapa lembar uang ribuan.
“Ini untuk jajan di sekolah,” katanya seraya
menyerahkan uang itu padaku.
Aku menyambut pemberiannya dan tak lupa mengucapkan
terima kasih. Lalu ibu juga mengucapkan terima kasih padanya. Kemudian kami
kembali melanjutkan perjalanan.
“Ibu kemana?
Sedari tadi tidak tampak.” Lamunanku dibuyarkan oleh pertanyaan kakak.
“Mungkin sedang bersiap-siap,” kataku sekenanya.
“Nanti aku ke sekolah diantar Ibu. Kakak pergi sendiri,” tambahku seraya
memonyongkan mulut ke arah kakak.
“Pergilah. Aku pergi sama si Peli.”
“Nanti aku akan bertemu Pak Adang di jalan. Dan
dikasihnya aku uang belanja.”
“Pak Adang sudah ke ladang Shubuh tadi.”
“Dari mana Kakak tahu?
“Ya, biasanya seperti itu.”
Kakak mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Memasang
handuk itu ke badannya. Mengeratkannya. “Jangan terlalu lama mandi,” katanya
sambil melangkah ke luar kamar mandi.
Aku mempercepat gerakan. Menyiramkan air pada tubuh
yang bersabun. Lalu menggosok badan, tangan, kaki, dan kepala. Setelah itu
mengambil handuk. Mengeringkan badan. Dan melilitkan handuk pada tubuh.
Dengan tubuh yang bau sabun aku berlari ke kamar.
Mengambil pakaian sekolah yang baru dibeli ibu minggu lalu. Lalu memakainya. Bau
baju yang harum menambah semangatku pagi ini.
Aku menghampiri kakak yang ketika itu berada di depan
cermin. Kakak sedang melihat wajahnya. Menyisir rambut. Kemudian mengoleskan
bedak tipis pada mukanya. “Ijon mau berbedak?” katanya padaku.
“Tidak. Bedakkan hanya untuk perempuan. Ijon laki-laki.”
Kakak menuangkan bedak ke tangannya. Ia putar badannya
sehingga aku dan dia berhadap-hadapan. Ia oleskan bedak itu ke mukaku. Aku
menarik kepala. Tapi telah terlambat. Bedak itu telah menempel di mukaku. Aku
lihat di depan cermin. Ternyata mukaku telah tampak belang. Aku terpaksa
merapikannya. Sekarang mukaku kelihatan lebih putih daripada biasanya.
“Gagah Ijon kalau seperti itu,” kata kakak dengan
sedikit menertawaiku.
“Tidak juga,” balasku dengan agak kesal.
“Ibu kok belum tampak?” tanyaku dengan memperhatikan
ruang tamu.
“Tidak tahu. Mungkin sedang keluar.”
“Ayah juga tak ada.”
“Mungkin pergi dengan Ibu.”
Kakak memasukkan beberapa buku pelajarannya ke dalam
tas.
“Kakak mau pergi sekolah duluan. Ijon mau ikut atau masih
mau diantar Ibu?”
“Ijon pergi sama Ibu saja.”
Kakak kemudian menyandang tas dan memasang sepatu. Ia
melangkahkan kaki pergi sekolah. Sekarang aku tinggal sendiri. Aku menunggu
ibu. Kalau ibu sudah datang aku sudah siap berangkat sekolah. Sepatu sudah
kupasang. Tas pun telah kuisi buku-buku. Aku siap berangkat. Hanya tinggal
menunggu ibu.
Aku melihat ke arah luar. Ternyata itu bukan ibu. Itu
ayah, kakak, dan beberapa tetangga: Pak Naih, Tek Liaih, Tek Deh, dan Da Poyok.
Mereka menuju ke rumah. Tampang ayah kulihat sangat kusam. Matanya merah
seperti habis menangis.
“Ayah, Ibu mana?” tanyaku ketika ayah telah sampai di
teras rumah.
Ayah langsung
merangkulku. Mengajakku ke belakang.
Di dapur, tepatnya di atas sumur, kulihat ibu di sana.
Lelernya dililit tali yang tergantung pada katrol. Lidahnya terjulur ke luar.
Matanya nyalang. Kakinya hanya menginjak udara. Kakak yang berada di sampingku
menangis. Ayah juga. Begitu pun dengan tetangga kami. Ayah memeluk kakak.
Membelai rambutnya. Dan menyeka airmata pada pipinya.
“Bu, Ijon mau sekolah,” kataku pada Ibu. Tapi ibu diam
saja.
“Ibu cepatlah. Nanti Ijon terlambat.” Ibu tetap diam.
Aku memegang kaki ibu dan menarik–nariknya. Tek Liaih
memegang tanganku. “Sudahlah. Jangan!” katanya seraya menarikku ke ruang
tengah.
“Tek, Ibu tak mau mengantar Ijon.” Aku melepaskan
tanganku dari tangan Tek Liaih.
“Ijon tak usah sekolah hari ini.”
“Tapi Ijon harus sekolah. Ijon ingin jadi guru.”
Tek Liaih memegang erat tubuhku dan menarikku. Aku tak
dapat melepaskan diri darinya. Kakak kulihat masih menangis di pangkuan ayah. Aku
menghampiri kakak. Menarik tangannya, “Ayo kita berangkat sekolah! Ibu tak mau
mengantar Ijon.”
Kakak tak menjawab. Ia terus saja menangis. “Ayo!”
kataku sambil menarik tangannya lagi.
“Ibu sudah meninggal Jon.” kata kakak dengan suara
yang dicampur isak tangis.
“Ibu tidak meninggal. Ibu hanya tak mau mengantar Ijon.”
Rumah dipenuhi isak tangis. Waktu itu aku belum
mengerti kenapa orang-orang menangis. Ibu telah meninggal dengan jalan bunuh
diri. Aku tak tahu kenapa ia bisa seperti itu. Ibu memang menderita penyakit
asma. Dan pada hari-hari terakhir kehidupannya penyakit asmanya semakin parah. Mungkin
ia tak sanggup lagi menanggung. Selama ini ia telah berobat ke banyak tempat.
Tapi penyakitnya tak pernah sembuh. Ia mungkin putus asa. Tapi kenapa ia bisa
seperti itu. Ia juga bukan seorang yang kurang ilmu agama. Ia sering mengikuti
pengajian dan hobi membaca buku agama. Ia tentu telah tahu akibat dari
perbuatannya.
Setelah ibu meninggal ayah membawa aku dan kakak untuk
pindah ke kota. Di kota itu ayah bekerja sebagai pegawai di sebuah perusahaan
swasta. Gaji ayah cukup besar sehingga kami bisa hidup sejahtera. Seperti anak
kota yang lain, aku dan kakak sekolah di tempat yang bagus. Sepulang sekolah
kami mengikuti les bahasa Ingris dan komputer. Kami tumbuh menjadi anak yang
pandai dan cerdas.
Di rumah kami hanya tinggal bertiga dengan ayah. Ayah
memang belum beristri lagi setelah ibu. Ayah tampaknya takut mempunyai istri.
Entah karena banyaknya berita di televisi yang mengatakan kalau ibu tiri tidak
baik untuk anak, atau karena ayah tak mau mengalami nasib yang sama ke dua
kalinya: ditinggal mati oleh istrinya. Aku tak tahu.
Walaupun demikian ayah tetaplah ayah kami. Ayah bisa
membahagiakan kami walaupun ibu tidak ada. Ayah bisa menjadi ayah dan ibu
sekaligus bagi kami.
***
Sudah sepuluh tahun aku tidak bertemu dengan kakak.
Kakak sudah bersuami dan punya dua orang anak. Saat ini ia tinggal di Amerika.
Sejak kematian ayah sepuluh tahun yang lalu aku pergi ke luar negeri.
Menggembara dari negeri yang satu ke negeri yang lain. Akhirnya aku terhenti di
Paris. Di puncak menara Eiffel aku memandang dunia yang luas. Aku tak sanggup lagi
untuk melangkah ke negeri mana pun. Apalagi ke kampung halaman.
Sebenarnya aku sangat ingin pulang kampung. Bertemu sanak-famili
dan melihat perkembangan kampung. Tapi rasanya aku tak sanggup untuk kembali.
Dalam kepalaku berkeliaran perasaan entah apa: rindu, gelisah, sedih, marah,
duka, dan apa lagi namanya. Di detik-detik terakhir kepergiannya ayah pernah
berkata,”Maafkan Ayah ya Nak. Sebenarnya Ayahlah yang membunuh Ibu. Ayah
menggantungnya di atas sumur supaya ia tak pernah lagi merasakan sakit. Pagi
itu Ibu batuk keras dan nafasnya sangat sesak. Ayah juga tak sanggup melihat
Ibu seperti itu terus. Akhirnya Ayah lilitkan saja tali beruk di lehernya. Mudah-mudahan
ia tak menderita lagi. Semoga ia berada di tempat yang mulia di sisi-Nya.”
Setelah itu ayah menghembuskan nafas terakhirnya.
Aku tak tahu apakah ayah serius mengatakan itu atau
hanya bercanda. Kalau memang benar ayah yang membunuh ibu, kenapa ayah mau
melakukannya. Apakah karena ayah tak sanggup membiayai pengobatan ibu, atau
ayah tak tahan hidup dengan ibu. Entahlah.
Sejak kejadian itu aku tak mau lagi bertemu
siapa-siapa. Aku tak mau bertemu kakak dan sanak-famili yang lain. Aku juga tak
mau bertemu masyarakat kampung yang mengenalku.
Tapi bagaimanapun aku tak bisa melupakan peristiwa
itu. Aku juga tak bisa menceritakannya pada orang lain, termasuk kakak. Aku tak
ingin kakak mengetahuinya walaupun peristiwa itu bisa dikatakan benar. Benar
bahwa ayahlah yang membunuh ibu. Aku tak ingin seorang pun tahu akan peristiwa
itu. (*)
TENTANG PENULIS
Khairy Ra’if Thaib
lahir di Nagari Kapalo Hilalang, Padang Pariaman, Sumatra Barat, 18 Desember
1993. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Unand berkegiatan di LPK (Labor
Penulisan Kreatif) dan Lembaga Kebudayaan Ranah.
0 comments:
Post a Comment