This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Monday, December 15, 2014

Surau: Sejarah, Pekembangan, hingga Kembali ke Surau



Oleh: Khairy Ra’if Thaib

Surau pada mulanya adalah sebuah tempat pertapaan. Ini pertamakali didirikan oleh  masyarakat Minangkabau yang beragama Budha. Kemudian, dalam pandangan masyarakat tradisi Minangkabau surau merupakan sebuah bangunan punya suatu suku. Letak surau biasanya agak jauh dari rumah gadang. Digunakan untuk tempat tidur para remaja lelaki Minang dan para lelaki tua Minang yang sudah cerai atau ditinggal mati istrinya.

Selanjutnya surau digunakan untuk mendidik para remaja lelaki Minang. Di surau mereka belajar bersosialisasi dengan masyarakat dan belajar silat. Guru mereka ialah para lelaki tua Minang yang telah mengecap asam-garam kehidupan. Surau juga digunakan untuk penginapan bagi orang-orang yang berkunjung ke Minangkabau.

Setelah masuknya Islam ke Minangkabau, para penyebar Islam yang dikenal dengan urang Siak diterima baik oleh masyarakat dan diinapkan di surau. Di sini terjadi percampuran antara tradisi Minangkabau dan agama Islam. Urang Siak mengajarkan Islam kepada masyarakat Minangkabau. Surau di sini telah menjadi sarana pembelajaran adat dan agama.

Di surau, para lelaki remaja Minang belajar mengaji setelah shalat Maghrib. Kemudian mereka akan belajar silat setelah Isya. Setelah itu mereka akan mendengarkan kisah-kisah, baik kisah tentang Minangkabau (tambo, kaba, petuah adat, dan sebagainya) maupun cerita-cerita Islam. Mereka juga akan menulis tambo, kaba, dan ajaran adat dengan tulisan Jawi. Setelah itu mereka akan tidur dan bangun ketika Shubuh. Melaksanakan shalat shubuh berjamaah. Kemudian mereka akan pergi pulang ke rumah gadang untuk membantu orangtua dan mamak bekerja di sawah dan di ladang. Bila Maghrib tiba mereka akan kembali lagi ke surau. Siklus seperti inilah yang setiap hari dilewati para lelaki remaja Minang.

Surau juga dijadikan sebagai rantau kecil. Rantau tempat menimba ilmu yang jaraknya sangat dekat dengan rumah gadang. Sebelum pada akhirnya para lelaki remaja Minang ini beranjak dewasa. Dan mereka akan merantau jauh meninggalkan Minangkabau. Mengadu nasib di negeri orang.

Peranan urang Siak di surau sangatlah penting. Mereka tidak hanya mengajarkan berbagai ilmu agama. Tentang dunia dan akhirat. Mereka juga mendidik para lelaki remaja Minang untuk bisa menjadi ulama. Ulama yang akan menyebarkan ajaran Islam dan untuk tempat bertanya. Banyak tokoh ulama yang dilahirkan di surau.

Dunia pendidikan di surau ialah pendidikan ilmu kehidupan. Segala ilmu dipelajari di surau. Jadi tak heran jika surau banyak melahirkan tokoh-tokoh politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan sebagainya.

Seiring bertambahnya tahun, berubahnya zaman dari era tradisi ke modern. Telah membuat peranan surau semakin hari semakin berkurang. Hal ini juga disebabkan oleh pola pendidikan modern Indonesia yang mengadaptasi pola pendidikan Barat. Yang mana, yang terpenting bagi masyarakat saat ini adalah sekolah di sekolah formal. Sehingga fungsi surau sebagai sarana pendidikan berangsur-angsur tenggelam. Penyebab lain, kemajuan teknologi dan globalisasi. Kemajuan teknologi dan arus globalisasi menyebabkan manusia tak sulit lagi untuk menuntut ilmu. Dengan membuka internet seseorang akan bisa belajar apa saja. Begitu pun dengan laju mobilitas. Seseorang tidak lagi bepergian dengan berjalan kaki atau naik pedati. Tapi ia sudah menggunakan sepeda motor, mobil, kereta, kapal, dan pesawat. Yang membuatnya cepat sampai ke tempat tujuan. Juga pengaruh budaya Barat yang masuk ke Minangkabau. Yang menyebabkan memudarnya budaya Minangkabau dalam diri masyarakat Minangkabau sendiri.

Di zaman ini orang tidak banyak lagi bekerja di sawah ataupun di ladang. Mereka sudah bekerja di kantor, di perusahaan, dan sebagainya. Waktu yang dihabiskan untuk bekerja pun semakin banyak. Hal ini tentu didukung oleh kebutuhan hidup yang semakin hari semakin meningkat dan semakin kompleks. Yang menyebabkan orang-orang tidak banyak waktu untuk pergi ke surau. Sehingga surau semakin jauh dari kehidupan masyarakat Minangkabau.

Sebab lain, karena kurangnya perhatian niniak mamak, alim ulama, dan masyarakat umum terhadap surau. Niniak mamak dan alim ulama selalu sibuk dengan diri sendiri. Sehingga tugas mereka sebagai pemimpin terkesampingkan. Begitupun dengan masyarakat. Surau pun semakin terpinggirkan. Masyarakat Minangkabau sekarang tak banyak lagi yang tahu tentang surau. Bahkan banyak di antara surau yang telah roboh. Seperti yang disampaikan A.A. Navis lewat cerpennya Robohnya Surau Kami. Kerobohan surau bukan hanya kerobohan fungsi dan peranan surau itu sendiri. Tapi kerobohan bangunan surau itu. Puing-puingnya juga telah roboh. Tapi tak ada niat untuk memperbaikinya.

Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis ini merupakan kritik Navis terhadap masyarakat Minangkabau. Navis tidak lagi menggunakan subjek ‘kita’ dalam judul cerpen. Tapi memakai subjek ‘kami’. Bila kita analogikan ke dalam bahasa Minang. ‘Kami’ dimaksudkan untuk mewakili masyarakat Minangkabau. Navis tidak lagi memberitakan ‘kerobohan surau’ ini pada masyarakat Minang sendiri. Tapi Navis memberitahukannnya kepada masyarakat luar Minang. Ini adalah suatu kemarahan besar Navis terhadap masyarakat Minangkabau.

Kalau kita melihat hubungan kata dalam ‘Robohnya Surau Kami’. Navis seolah-olah membanggakan kepada orang luar Minang. Bahwa surau mereka telah roboh. Adat dan agama mereka telah hancur. Hal ini berbeda sekali kalau Navis memakai judul  Surau Kami yang Roboh atau Kerobohan Surau Kami. Dengan membanggakan kepada orang luar akan hancurnya adat dan agama. Ini menjadi akhir dari segala sesuatu. Navis tidak lagi mengkritik masyarakat Minang yang tidak peduli dengan surau. Masyarakat Minang terlalu kebal dan antikritik. Lalu Navis membanggakan suraunya yang telah roboh itu kepada masyarakat luar. Ini adalah kritik di atas kritik. Tapi bagaimana pun Navis mengkritik dan menyindir masyarakat dalam Robohnya Surau Kami. Ternyata cerpen hanyalah cerpen. Yang dianggap fiksi, hanya karangan pengarang yang mengada-ngada saja oleh masyarakat. Robohnya Surau Kami tidak bisa meyadarkan masyarakat.

Beberapa tahun belakangan sering muncul wacana Kembali ke Surau. Wacana ini muncul karena ketakutan masyarakat Minangkabau sendiri akan keruntuhan adat dan kehancuran agama mereka di tengah zaman yang serba canggih dan serba instan ini. Wisran Hadi dalam bukunya Sagarobak-Tulak Buah Tangan Wisran Hadi: Anak Dipangku Kemenakan di BIM menyampaikan kalau memang harus kembali ke surau maka harus ada pengertian dan definisi surau secara menyeluruh dan umum. Selama ini definisi surau berbeda-beda. Lalu bagaimana pula pengertian surau dalam masyarakat Minangkabau modern saat ini.

Wacana Kembali ke Surau ini sebaiknya dihapuskan saja. Karena tidak mungkin surau akan dikembalikan ke masa lalu. Surau mengalami banyak perkembangan dari masa ke masa. Kalau Kembali ke Surau adalah kembalinya surau seperti dulu, seperti zaman tradisi, itu tak mungkin terajdi. Masyarakat sekarang ialah masyarakat yang beragam dengan kebutuhan yang beragam pula. Tak mungkin setiap malam anak muda Minang hidup di surau. Mereka mempunyai banyak kehidupan lain. Tak mungkin pula lelaki tua Minang akan tinggal di surau. Mengajar kemenakan dan menunggu ajal. Banyak hal yang bisa mereka lakukan di luar sana. Apalagi kalau mereka sudah sakit-sakitan. Alangkah lebih baik jika mereka dirawat anak-anaknya di rumah. Mengapa harus pulang ke surau. Lalu tambah tak mungkin jika surau dikembalikan pada asal mula surau itu berdiri. Yakni sebagai tempat pertapaan. Ini lebih kacau lagi. Apakah masyarakat Minangkabau harus kembali beragama Hindu-Budha dengan Kembali ke Surau ini.

Seharusnya semua pihak tidaklah mengembalikan surau bagaimanapun namanya. Tapi memungsikan surau sebaik-baiknya. Sesuai dengan kebutuhan manusia dan perkembangan zaman. Bukan meletakkan surau pada posisi semula.(*)

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Singgalang, 14 Desember 2014

Datuk Maringgih Mengutuk Diri Sendiri

Cerpen Andika Sahara



Sedang erat berpaut tali kasih Siti Nurbaya dengan Malin Kundang, diam-diam Datuk Maringgih telah menjodohkan putranya dengan Oktelia. Bagi Malin Kundang, terlalu sulit untuk mengelak atas apa yang sudah diputuskan oleh ayahnya itu. Sebelumnya, Malin Kundang tak tahu bahwa dirinya telah dijodohkan. Sedangkan hubungannya dengan Siti Nurbaya tak diketahui oleh kedua orangtua mereka. Setelah menerima kabar bahwa perjodohan itu tinggal menghitung hari, Malin Kundang segera memberitahukannya kepada Siti Nurbaya. Betapa terpukul hati Siti Nurbaya mendengarnya. Malin Kundang berjanji kepada Siti Nurbaya, bahwa ia bakal berusaha agar perjodohan itu dibatalkan.
Suatu ketika, Malin Kundang berbicara dengan ayahnya. Ia berjelas-jelas kepada Datuk Maringgih bahwa cintanya dengan Siti Nurbaya sudah sangat kuat. Seperti benang dengan layang-layang. Setelah mendengar penjelasan dari Malin Kundang, Datuk Maringgih langsung naik pitam. Sebab perjanjiannya dengan ayah Oktelia sangat berisiko jika dipungkiri. Datuk Maringgih takut kalau kerajaan Cimporongnya nanti dihancurkan oleh kerajaan Antu Balawu yang dipimpin oleh ayah Oktelia. Memang kerajaan Antu Balawu begitu menakutkan oleh oleh kerajaan-kerajaan lain semenjak mereka menundukkan kerajaan Kuda Tengkak. Sejarah di masa antah barantah itu terus menghantui hingga ke masa depan.
“Malin, sebaiknya kau lupakan saja Siti Nurbaya. Bukankah anak Mangkuto Sati itu juga tak kalah cantik darinya.” Tegas Datuk Maringgih kepada Malin Kundang.
“Bukan persoalan cantik atau bagaimananya, ayah. Tapi pikirlah sedikit oleh ayah. Siapa yang tak mengenal Mangkuto Sati? Putra bungsu si Raja Alam. Tersebut ia keturunan si raja licik. Bagaimana kalau maksud Mangkuto Sati menyepakati perjodohanku dengan putrinya adalah untuk memiliki kerajaan kita?” ujar Malin Kundang kepada Datuk Maringgih.
Lancang benar kau berkata. Itu tidak mungkin bakal terjadi. Mangkuto Sati justru bakal melindungi kita dari segala ancaman, jika kau telah menjadi bagian dari keluarganya. Simpan saja kecemasanmu itu.” Ucap Datuk Maringgih sambil meletakkkan tangan kiri di pinggang, dan tangan kanan menunjuk ke arah Malin.
“Kalau kau masih bersikeras, maka kau bakal menerima kutukan seperti yang pernah dilakukan oleh Hamid Jabar terhadap putrinya. Biar nanti kau juga menjadi Umang-Umang di pantai Padang.” Tambahnya dengan sedikit mengancam.
Malin kundang segera meninggalkan ayahnya. Ia tak mau jika ancaman dari ayahnya benar-benar terjadi. Malin Kundang pergi menemui ibunya. Maka kepada ibunya, Malin Kundang berharap dapat mengadu.
Di dalam kamar, ibu Malin Kundang sedang mendengarkan baik-baik pembicaraan antara anak dan suaminya. Ibu Malin tak mampu membendung airmatanya. Satu per satu jatuh luruh di pipi. Sehingga ia tak sadar kalau perdebatan Malin Kundang dengan Datuk Maringgih telah usai. Ia tersentak ketika ada yang mengetuk pintu. Ia hapus airmatanya dengan kedua telapak tangan. Lalu, kain-kain yang sudah terlipat rapi, ia serakkan di lantai. Ia berpura-pura sedang sibuk melipat kain, jika nanti ada yang bertanya tentang apa yang sedang dilakukannya di dalam kamar.
“Bundo!”
Terdengar suara dari luar memanggilnya. Ia segera menegakkan kepala. Lalu berjalan ke pintu. Ia buka pintu perlahan seraya berusaha agar terlihat seperti biasanya.
“Ada apa, nak?” tanya ibu setelah mengetahui bahwa Malin sudah berdiri muram di depan pintu. Suaranya begitu pelan. Seperti ada yang tertahan.
“Bundo, bantulah Malin untuk membujuk ayah. Sebaiknya perjodohanku dengan Oktelia dibatalkan saja” seru Malin Kundang. Namun ibu tak menjawab apa-apa. Ia malah menarik tangan Malin, lalu membawanya ke halaman belakang istana.
Di halaman belakang istana, Malin Kundang dan ibunya bicara seperti berbisik-bisik. Begitu pelan dan hati-hati. Barangkali biar tak ada yang mengetahui. Apalagi Datuk Maringgih. Tak lama berselang, ibu masuk ke dalam istana. Sedangkan Malin Kundang tetap berada di tempat yang ditinggalkannya.
Setelah masuk ke dalam istana, ia langsung menuju kamar Malin. Ia ambil beberapa helai pakaian. Lalu dimasukkan ke dalam sebuah bungkusan yang dibuat dari kain panjang dengan tergesa-gesa. Setelah dibungkus, ia letakkan di lantai. Lalu berjalan ke pintu. Mengintip dari celah lobang pintu. Setelah dirasa tak ada orang, ia keluar dari dalam kamar seraya membawa bungkusan seperti orang akan pergi mencuci ke sungai. Malin Kundang sudah bersiap-siap sebelum menanti sebelum ibu sampai di dekatnya. Sesampai di dekat Malin, ibu langsung memberikan bungkusan.
“Bundo, bagaimana kalau ayah mengetahuinya? Bisa-bisa ayah akan menganggapku sebagai anak durhaka.” Ucap Malin.
“Malin, tenang saja. Kalau kau dianggap anak durhaka, itu tidaklah benar. Bundo sebenarnya yang pantas dikatakan demikian. Kepergianmu sebab bundo yang menganjurkan.” Timpal ibu sambil memegang bahu Malin.
“Sekarang pergilah, anakku!”
Malin Kundang berlalu meninggalkan ibunya dengan sedikit ragu-ragu. Sepeninggal Malin Kundang, ibu segera menemui Datuk Maringgih dengan raut muka dibuat-buat seperti sedang cemas. Ia berpura-pura sedang mencari Malin.
“Datuk, dimanakah Malin?” tanyanya seakan tak tahu apa-apa.
“Kau selalu memanjakan anak itu. Paling jauh, dia hanya akan pergi ke kandang kuda. Biarkan saja. Nanti sore juga bakal pulang” tepis Datuk Maringgih dengan mata sinisnya.
“Pakaian di petinya sudah tak ada!” tegas ibu Malin.
Mendengar perkataan itu, Datuk Maringgih sontak berdiri. Sebab Malin yang baru beberapa saat lalu masih bicara dengannya, telah pergi. Datuk Maringgih mengumpat dalam hati. Tapi di bibirnya, keluar perintah kepada Dubalang untuk mengumpulkan seratus orang pemuda. Dubalang bergegas keluar dari pintu istana.
Di sepanjang jalan, Dubalang bersorak, “Malin Kundang hilang. Malin Kundang mungkin menghilang!”
Sesuai perintah Datuk Maringgih, Dubalang telah berhasil mengajak seratus orang pemuda yang bersedia untuk mencari Malin Kundang. Keseratus pemuda itu langsung dibawa ke hadapan Datuk Maringgih. Mereka dijanjikan hadiah tuak seribu tabung jika telah berhasil menemukan Malin Kundang dan membawanya pulang. Maka dengan sigap mereka pergi. Walau tak tahu akan mencari kemana.
Hampir semua orang membicarakan kehilangan Malin. Sebelum berita itu tersiar ke kerajaan Antu Balawu, Datuk Maringgih sudah terlebih dahulu mengabarkannya ke Mangkuto Sati, pemimpin di kerajaan Antu Balawu lewat sepucuk surat. Surat itu berisi pemberitahuan bahwa perjanjian dibatalkan. Datuk Maringgih sebenarnya begitu sayang dengan Malin Kundang. Sebab ia Malin Kundang satu-satunya pewaris kerajaannya. Ia berpikir bahwa kepergian Malin Kundang berawal dari perjodohan yang tak bisa diterima oleh anaknya itu.  Namun ternyata Mangkuto Sati tetap saja tak terima. Jangankan memberi pertolongan untuk menemukan Malin Kundang, Datuk Maringgih justru yang disalahkan oleh Mangkuto Sati. Ia tak terima jika itu menjadi alasan dibatalkannya perjodohan antara Malin dengan Oktelia.
Mangkuto Sati mengeluarkan ultimatum lewat sepucuk surat balasan.
“Jika perjanjian atas perjodohan Malin dengan Oktelia dibatalkan, maka seribu pasukan berkuda akan berbaris di perbatasan” begitu isi surat yang dibawa pulang oleh dua orang pesuruh Datuk Maringgih.
Mangkuto Sati merasa telah dipermainkan oleh Datuk Maringgih. Maka dengan itu ia mengajak kerajaan Cimporong untuk berperang. Ia menganggap Datuk Maringgih telah ingkar. Sungguh ia tak bisa menerima. Dengan adanya ultimatum itu, ketakutan Datuk Maringgih terhadap Mangkuto Sati makin menjadi-jadi. Sebab ia tahu bahwa kerajaannya tak memiliki pasukan perang sekuat kerajaan Antu Balawu. Tubuhnya menggigil seusai membaca surat itu. Ia benar-benar takut kalau Cimporong, yang merupakan kerajaan terkaya itu dihancurkan.
Pada saat bersamaan, di kerajaan Singo Ompong, riuh juga orang-orang sedang membicarakan kehilangan Siti Nurbaya. Hampir sama persoalannya dengan kehilangan Siti Nurbaya. Tapi hilangnya Siti Nurbaya, memang tak satu orangpun yang mengetahui. Bahkan ibunya sekalipun. Entah hilang, atau dihilangkan. Entahlah.
Berita kehilangan Siti Nurbaya terdengar sampai ke telinga Datuk Maringgih dalam tempo yang begitu singkat. Datuk Maringgih mencoba mengait-ngaitkannya dengan kehilangan Malin Kundang. Sebab baginya, bukan mustahil lagi kalau Malin Kundang pergi bersama Siti Nurbaya. Datuk Maringgih langsung turun tangan untuk berangkat ke kerajaan Singo Ompong. Ia tak geram sama sekali dalam melangkah. Bahkan ia begitu sering menghardik kusir bendi yang lalai melecut pantat kuda.
Sesampai di kerajaan Singo Ompong, Datuk Maringgih langsung mencari rajanya. Saat ia tiba, di depan istana orang-orang sedang berkumpul. Datuk Maringgih bersama beberapa orang pengawalnya menyibak kerumunan. Langsung ia tanya dimana raja. Seorang Dubalang di kerajaan Singo Ompong berusaha menghadangnya.
“Ada perlu apa tuan mencari raja?” tanya Dubalang.
“Kami hendak bicara. Putra kami hilang.” Ungkap Datuk Maringgih.
“Maaf tuan. Raja sedang berduka. Putrinya yang hilang sejak semalam, baru saja ditemukan tergeletak di tanah. Sebaiknya tuan kembali saja.”
“Sakit?” tanya Datuk Maringgih.
“Mati. Tidak tahu penyebabnya. Kami hanya menemukan bekas tabung racun di tangan kanan Siti Nurbaya, putri raja”
Mendengar penjelasan dari Dubalang, Datuk Maringgih hanya mengangguk. Lalu memberi isyarat kepada pengawalnya untuk segera pergi.
Setelah tiba kembali di kerajaan Cimporong, Datuk Maringgih terlihat asing. Disapa oleh istrinya, ia tak menjawab. Ia mengurung diri di dalam kamar. Memang begitu berat baginya untuk kehilangan Malin. Apalagi ditambah oleh ancaman yang datang Mangkuto Sati.
***
Selama dua hari dua malam, Datuk Maringgih tak terlihat. Ia mengurung diri di dalam kamar. Pintu ia kunci erat-erat. Istrinya saja tak ia biarkan masuk. Melihat keadaan itu, istrinya cemas. Dipanggil pun ia tak menyahut. Pada hari ke dua itu, istrinya menyuruh seorang pengawal kerajaan untuk mendobrak pintu. Setelah pintu rubuh, tak terlihat Datuk Maringgih di dalam kamar itu. Yang ada hanyalah sebatang pohon pinus. Tak diketahui dengan pasti asalnya. Di duga pohon pinus itu adalah jelmaan Datuk Maringgih. Semenjak itu tersiar kabar bahwa Datuk Maringgih mengutuk dirinya sendiri menjadi pohon pinus. Sedangkan istrinya merasa sangat menyesal karena telah menyuruh Malin Kundang pergi merantau.*

Limau Manis, 2014
*Terbit di Padang Ekspres, Minggu 14 Desember 2014

Andika Sahara, lahir di Payakumbuh tanggal 21 Agustus 1990. Melakukan studi Sastra Indonesia di Universitas Andalas. Giat menulis cerpen di Labor Penulisan Kreatif. Saat ini aktif di perfileman bersama komunitas Filtograph.

Tuesday, December 9, 2014

Sehimpun Kisah Tentang Perempuan

DATA BUKU Judul : Satu Hari yang Ingin Kuingat Penulis : Yetti. AKA Penerbit : UNSA PRES Cetakan : Pertama, Agustus, 2014 Tebal Halaman : 110 halaman Peresensi : Khairy Ra’if Thaib Yetti A.KA merupakan salah seorang penulis cerita pendek produktif yang dimiliki Indonesia saat ini. Yetti A.KA telah banyak menghasilkan cerpen yang dipublikasikan di media masa lokal, maupun nasional. Ia juga telah menerbitkan lima kumpulan cerpen sejak tahun 2004. Kumpulan cerpennya yang berjudul Kinoli masuk 10 besar Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2013. Kumpulan cerpen Satu Hari yang Ingin Kuingat (UNSA PRES, Agustus 2014) ini tak jauh beda dari kumpulan cerpen yang pernah ditulis Yetti sebelumnya, yakninya cerita yang menjadikan perempuan sebagai objek yang dieksplorasi. Membaca buku yang setebal 101 halaman ini kita dihadapkan dengan persoalan hidup perempuan. Perempuan-perempuan yang hidupnya tidak bahagia, perempuan yang selalu tertipu oleh senyum manis laki-laki, perempuan yang selalu ditinggalkan, dan perempuan yang teraniaya. Dalam cerpen Kupu-kupu Tanalia, Yetti menggambarkan bagaimana keinginan Tanalia, seorang anak kelas lima SD untuk memelihara kupu-kupu dalam kamarnya. Tapi Masya, ibunya malah melarang. Padahal ia sangat suka kupu-kupu dan baginya kupu-kupu adalah teman yang baik. Cerpen ini bukan hanya berbicara masalah kupu-kupu. Tapi bagaimana cara Yetti mengekspos keluguan seorang anak kecil sebagai konflik cerita. Masya sebenarnya tidaklah melarang Tanalia memelihara kupu-kupu hanya karena ia tak suka kupu-kupu. Melainkan lebih karena masa lalunya. Seorang lelaki penyuka kupu-kupu yang mengaku datang dari hutan menitipkan benih kupu-kupu di rahim Masya. Dan kupu-kupu itu terlahir sebagai Tanalia. Perempuan di sini ialah perempuan yang ditinggalkan, sekaligus disakiti. Eksploitasi tentang kesakitan perempuan juga terdapat dalam cerpen Ia yang Menyimpan Api di Dadanya. Ketika berumur lima belas tahun, tubuh Maura sering digerayangi oleh ayah dan kakak laki-lakinya. Ketika itu Maura tidak dapat melawan. Ia takut. Waktu itu pula ia sering dipukul oleh ibunya dengan tangkai sapu karena ia sering memecahkan gelas. Setelah ia menikah ia malah diperlakukan tidak baik oleh suaminya: diperkosa, dipukul, dan dituduh yang tidak-tidak. Berbeda lagi dengan cerpen Satu Hari yang Ingin Kuingat, seorang perempuan ditinggalkan kekasihnya hanya karena perempuan itu meminum jus melon. Cerita ini disampaikan Yetti dengan penuh teka-teki sehingga membuat pembaca selalu menanti kalimat selanjutnya. Sedangkan pada cerpen Hati Milia, Yetti bercerita tentang bagaimana ketidakbahagiaan Milia, seorang istri yang suaminya terseret kasus korupsi negeri ini. Wajah suami Milia sering muncul di televisi dan ini membuat Milia harus memutus kabel televisinya supaya tidak bisa ditonton oleh anak-anaknya. Ia juga tidak bisa keluar rumah dan anak-anaknya tidak bisa ke sekolah. Dan perempuan di sini tidak hanya berkutat dengan masalah ketidakbahagiaan dirinya, tapi juga masalah malu. (*) *Ditulis oleh : Khairy Ra'if Thaib Terbit di koran SInggalang, Desember 2014

Saturday, December 6, 2014

Bellona

Aku masih sibuk mengorek-ngorek saku celana, beranggapan ada korek api di dalamnya. Sebatang rokok yang belum terbakar menancap di kedua bibirku. Ujung rokok itu sudah lunak dan basah. Aku tidak merasakan lagi manisnya.
            Karena sudah menyerah, aku putuskan masuk ke dalam rumah. Aku tidak mempunyai ide mencari korek itu di dalam lemari atau di atas kulkas. Hanya dapur yang kuyakini memiliki api.
            Di dapur aku menemukan kompor kosong. Aku mendekat, lalu mendekatkan ujung rokokku di tempat yang biasanya mengeluarkan api. Tangan kananku memutar pedal kompor. Seketika rokokku terbakar. Lalu aku cepat-cepat keluar, karena di rumah ini tidak boleh ada asap rokok. Itu peraturannya. Aku juga tidak tahu siapa yang membuatnya. Yang jelas jika ketahuan aku merokok di dalam rumah, aku bakal kena denda.
            Di luar, aku duduk di bangku panjang yang menghadap ke taman. Di taman itu tumbuh bunga berwarna-warni. Aku tidak tahu pasti bunga apa saja yang tumbuh disana. Tapi jika ada bunga berwarna merah, aku hanya meyakini itu adalah bunga mawar.
            Kopi yang hanya tinggal setengah di sebelahku seakan-akan menyempurnakan ketenangan malam itu. Ditambah lagi langit yang cerah penuh bintang-bintang.
            Ketika sedang menyeruput kopi, aku mendengar ada suara yang memanggilku dari dalam rumah. Suara itu tidak asing. Suara itu adalah suara Bellona. Ya, itu adalah suara Bellona. Kuarahkan pandangan menatap ke pintu.
Tidak lama setelah itu, Bellona keluar dengan pakaian serba bergelombang. Bellona memakai gaun Flamingo. Baju itu berwarna merah padam dengan rok yang memiliki gelombang seperti gulungan ombak di Mentawai.
            “Serpertinya ia ingin menari,” bisikku dalam hati.
            Kuseduh kopi hingga habis, lalu segera mendekatinya.
            “Ada apa Bellona?”
            “Ada yang memintaku untuk menari di taman kota,ia mengucapkan kalimat itu dengan terus tersenyum, sepertinya ia sangat gembira dengan permintaan itu.
            “Lalu, apa yang harus saya lakukan?” tanyaku dengan sedikit senyum di akhir kalimat.
            “Panaskan mobil, kita pergi sekarang.”
            “Baiklah, Bellona,aku akhiri dialog ini dengan senyum. Lalu segera menuju garasi mobil.
            Dari dalam garasi aku masuk ke dalam mobil dan menghidupkannya. Tidak begitu lama.  Aku langsung mengeluarkan mobil dan mengendarainya menuju tempat Bellona berdiri. Ketika lampu mobil mengenai wajahnya, tampak Bellona tersenyum panjang sambil memandang mobil yang kukendarai.
            “Silahkan masuk Bellona.” Aku tetap berada di kursi sopir ketika mempersilahkannya.
            Dengan cepat Bellona membuka pintu belakang dan langsung masuk menghempaskan pantatnya, kemudian dengan cepat pula menutup kembali pintunya.          
 “Jadi kita ke taman kota Bellona?” ucapku memastikan tujuan pergi.
Dari kaca spion aku melihat Bellona hanya mengangguk-angkuk dengan senyumnya yang tak hilang dari tadi. Kami kemudian beranjak pergi keluar dari halaman rumah menuju jalan raya.
Taman kota cukup jauh dari sini. Apalagi dengan mobil, pastinya sering terjebak macet. Di kota ini mobil begitu banyak. Jalanan dipenuhi asap-asap. Bukan hanya asap kendaraan saja. Asap kuali tukang bakso. Asap pedagang sate. Asap dari pembakaran sampah yang menyebar. Dan asap rokok.
Kami baru memasuki jalan raya, namun macet sudah menghadang. Sembari menunggu macet, kuraba saku celana untuk mengetahui di mana letak kotak rokok tadi. Setelah kotak rokok itu kukeluarkan, kuambil satu batang dan mengapitnya dengan kedua bibir. Kumasukkan lagi kotak rokok itu, kemudian tanganku menekan tombol di antara rak sebelah kiri stir, yang bergambarkan ilustrasi sebatang rokok dengan asapnya.
Beberapa saat kemudian, tombol itu berbunyi. Kutarik tombol itu keluar dan ujungnya yang berwarna merah kudekatkan ke ujung rokokku.
Hembusan pertama kuarahkan keluar jendela. Kemudian rokok itu kuhisap lagi sambil melihat kaca spion. Di dalam kaca spion, aku melihat Bellona sedang menggerakkan kedua pergelangan tangannya seperti sedang menari. Kepalanya juga ikut digerakkan sesuai tempo gerakkan pergelangan tangannya. Sedangkan pandangannya lurus ke bawah.
“Sepertinya ia sudah tidak sabar untuk menari,” ucapku dalam hati.
Lima belas menit kemudian jalanan mulai lancar–walau hanya bisa memacu mobil dengan kecepatan lambat.
***
Akhirnya mobilku berhenti tepat di depan sebuah taman.
“Kita sudah sampai Bellona.”
Bellona langsung membuka gagang pintu. Namun tidak bisa terbuka, karena mobil ini memiliki kepala kunci, yang kepala kunci tersebut berada di kunci milik pintuku. Jika kunciku tidak terbuka, kunci yang lain pun tidak akan terbuka.
“Roby, cepat buka!”
Aku segera membuka kunci milik pintuku dan Bellona dengan cepat keluar dan langsung menuju taman.
            Aku hanya bisa melihatnya dari dalam mobil. Bellona langsung menggerakkan tubuhnya,  dan tariannya pun dimulai. Lekuk tubuh Bellona lentur sekali. Ini tidak kali pertama aku melihatnya menari. Namun aku tetap tidak bosan-bosan melihatnya menari.
            Aku memperhatikan setiap gerakkan tubuhnya. Rambutnya. Dan senyumnya. Itu semua membuatku terlena.
            Kuraba lagi saku untuk mengambil rokok lalu membakarnya. Tenggorokkanku terasa kering. Kuhidupkan lampu di langit-langit mobil agar bisa melihat tempat-tempat yang mungkin bisa meletakkan botol minuman. Tanganku meraba rak di depan kursi yang berada di sampingku.  Itu membuat tubuhku harus merebah untuk membukanya. Dari dalam rak itu aku mendapati botol berisi setengah air. Dinding botol itu ada uap air yang sudah memutih. Aku meminumnya. Rasa air di botol itu sedikit pahit.
            Di luar, aku masih melihat Bellona menari. Bellona menari penuh semangat. Ia tidak kenal lelah. Gerakkan Bellona semakin mempesona. Semakin cepat. Rambutnya mulai basah oleh keringat. Ada beberapa helai rambut yang menempel di pipinya. Itu membuat Bellona begitu eksotis di mataku.
              Kulipat kedua tanganku di besi jendela mobil untuk menahan dagu. Ini adalah posisi yang nyaman untuk melihat Bellona yang sedang menari. Aku membayangkan aku dan Bellona pergi ke sebuah pantai pada waktu senja, disana hanya ada aku dan Bellona. Lalu Bellona menari di hadapanku dengan penuh gairah. Aku bisa melihat keringatnya yang mulai mengalir dari kepalanya dan jatuh ke pipinya. Kemudian beberapa helai rambut menempel di pipinya. Ketika itu ia menatapku dengan penuh manja. Hahaha… Aku selalu berimajinasi ketika aku melihat Bellona menari.
            Tiba-tiba ada yang bergetar di saku-ku. Tanganku langsung masuk kedalam saku dan mengeluarkan ponsel yang bergetar. Ketika kulihat, ternyata ada pesan masuk. Isi pesan itu bertuliskan “Roby, bawa masuk si Sabrina, jam istirahat sudah habis.”
            Aku menghela napas. Kemudian kutatap Bellona yang sebenarnya adalah Sabrina. Bellona yang tidak mau dipanggil Sabrina. Karena dari kabar yang kudengar, Bellona masuk rumah sakit ini karena ia tidak diperbolehkan oleh ayahnya untuk pergi ke Meksiko mengikuti sekolah tari.
Aku teringat malam-malam ketika Bellona menyuruhku mengantarkannya ke taman kota. Walau sebenarnya aku hanya membawanya berputar-putar dan kembali ke taman yang terletak di depan rumah sakit. Lalu aku teringat betapa susah untuk membujuknya masuk ke dalam rumah, sampai-sampai aku juga pernah dilemparnya dengan sepatu.
            Kubuka pintu mobil dan pergi mendekati Bellona.
            “Bellona, kita masuk rumah yuk?”
            “Nggak mau!” Bellona mencoba melepaskan peganganku.

Padang, 2014
*Terbit di Rakyat Sumbar, 6 Desember 2014.

Biodata Penulis:
Muhaimin Nurrizqy, lahir di Padang 12 Oktober 1995. Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Bergiat di Cinemama dan Labor Penulisan Kreatif (LPK).