Cerpen
Andika Sahara
Sedang erat berpaut tali kasih Siti Nurbaya dengan
Malin Kundang, diam-diam Datuk Maringgih telah menjodohkan putranya dengan
Oktelia. Bagi Malin Kundang, terlalu sulit untuk mengelak atas apa yang sudah
diputuskan oleh ayahnya itu. Sebelumnya, Malin Kundang tak tahu bahwa dirinya
telah dijodohkan. Sedangkan hubungannya dengan Siti Nurbaya tak diketahui oleh
kedua orangtua mereka. Setelah menerima kabar bahwa perjodohan itu tinggal
menghitung hari, Malin Kundang segera memberitahukannya kepada Siti Nurbaya.
Betapa terpukul hati Siti Nurbaya mendengarnya. Malin Kundang berjanji kepada
Siti Nurbaya, bahwa ia bakal berusaha agar perjodohan itu dibatalkan.
Suatu ketika, Malin Kundang berbicara dengan
ayahnya. Ia berjelas-jelas kepada Datuk Maringgih bahwa cintanya dengan Siti
Nurbaya sudah sangat kuat. Seperti benang dengan layang-layang. Setelah
mendengar penjelasan dari Malin Kundang, Datuk Maringgih langsung naik pitam.
Sebab perjanjiannya dengan ayah Oktelia sangat berisiko jika dipungkiri. Datuk
Maringgih takut kalau kerajaan Cimporongnya nanti dihancurkan oleh kerajaan
Antu Balawu yang dipimpin oleh ayah Oktelia. Memang kerajaan Antu Balawu begitu
menakutkan oleh oleh kerajaan-kerajaan lain semenjak mereka menundukkan
kerajaan Kuda Tengkak. Sejarah di masa antah barantah itu terus menghantui
hingga ke masa depan.
“Malin, sebaiknya kau lupakan saja Siti Nurbaya.
Bukankah anak Mangkuto Sati itu juga tak kalah cantik darinya.” Tegas Datuk
Maringgih kepada Malin Kundang.
“Bukan persoalan cantik atau bagaimananya, ayah.
Tapi pikirlah sedikit oleh ayah. Siapa yang tak mengenal Mangkuto Sati? Putra
bungsu si Raja Alam. Tersebut ia keturunan si raja licik. Bagaimana kalau
maksud Mangkuto Sati menyepakati perjodohanku dengan putrinya adalah untuk
memiliki kerajaan kita?” ujar Malin Kundang kepada Datuk Maringgih.
Lancang benar kau berkata. Itu tidak mungkin bakal
terjadi. Mangkuto Sati justru bakal melindungi kita dari segala ancaman, jika
kau telah menjadi bagian dari keluarganya. Simpan saja kecemasanmu itu.” Ucap
Datuk Maringgih sambil meletakkkan tangan kiri di pinggang, dan tangan kanan
menunjuk ke arah Malin.
“Kalau kau masih bersikeras, maka kau bakal menerima
kutukan seperti yang pernah dilakukan oleh Hamid Jabar terhadap putrinya. Biar
nanti kau juga menjadi Umang-Umang di pantai Padang.” Tambahnya dengan sedikit
mengancam.
Malin kundang segera meninggalkan ayahnya. Ia tak
mau jika ancaman dari ayahnya benar-benar terjadi. Malin Kundang pergi menemui
ibunya. Maka kepada ibunya, Malin Kundang berharap dapat mengadu.
Di dalam kamar, ibu Malin Kundang sedang
mendengarkan baik-baik pembicaraan antara anak dan suaminya. Ibu Malin tak
mampu membendung airmatanya. Satu per satu jatuh luruh di pipi. Sehingga ia tak
sadar kalau perdebatan Malin Kundang dengan Datuk Maringgih telah usai. Ia
tersentak ketika ada yang mengetuk pintu. Ia hapus airmatanya dengan kedua
telapak tangan. Lalu, kain-kain yang sudah terlipat rapi, ia serakkan di
lantai. Ia berpura-pura sedang sibuk melipat kain, jika nanti ada yang bertanya
tentang apa yang sedang dilakukannya di dalam kamar.
“Bundo!”
Terdengar suara dari luar memanggilnya. Ia segera
menegakkan kepala. Lalu berjalan ke pintu. Ia buka pintu perlahan seraya
berusaha agar terlihat seperti biasanya.
“Ada apa, nak?” tanya ibu setelah mengetahui bahwa
Malin sudah berdiri muram di depan pintu. Suaranya begitu pelan. Seperti ada
yang tertahan.
“Bundo, bantulah Malin untuk membujuk ayah.
Sebaiknya perjodohanku dengan Oktelia dibatalkan saja” seru Malin Kundang.
Namun ibu tak menjawab apa-apa. Ia malah menarik tangan Malin, lalu membawanya
ke halaman belakang istana.
Di halaman belakang istana, Malin Kundang dan ibunya
bicara seperti berbisik-bisik. Begitu pelan dan hati-hati. Barangkali biar tak
ada yang mengetahui. Apalagi Datuk Maringgih. Tak lama berselang, ibu masuk ke
dalam istana. Sedangkan Malin Kundang tetap berada di tempat yang
ditinggalkannya.
Setelah masuk ke dalam istana, ia langsung menuju
kamar Malin. Ia ambil beberapa helai pakaian. Lalu dimasukkan ke dalam sebuah
bungkusan yang dibuat dari kain panjang dengan tergesa-gesa. Setelah dibungkus,
ia letakkan di lantai. Lalu berjalan ke pintu. Mengintip dari celah lobang
pintu. Setelah dirasa tak ada orang, ia keluar dari dalam kamar seraya membawa
bungkusan seperti orang akan pergi mencuci ke sungai. Malin Kundang sudah
bersiap-siap sebelum menanti sebelum ibu sampai di dekatnya. Sesampai di dekat
Malin, ibu langsung memberikan bungkusan.
“Bundo, bagaimana kalau ayah mengetahuinya?
Bisa-bisa ayah akan menganggapku sebagai anak durhaka.” Ucap Malin.
“Malin, tenang saja. Kalau kau dianggap anak
durhaka, itu tidaklah benar. Bundo sebenarnya yang pantas dikatakan demikian.
Kepergianmu sebab bundo yang menganjurkan.” Timpal ibu sambil memegang bahu
Malin.
“Sekarang pergilah, anakku!”
Malin
Kundang berlalu meninggalkan ibunya dengan sedikit ragu-ragu. Sepeninggal Malin
Kundang, ibu segera menemui Datuk Maringgih dengan raut muka dibuat-buat
seperti sedang cemas. Ia berpura-pura sedang mencari Malin.
“Datuk, dimanakah Malin?” tanyanya seakan tak tahu
apa-apa.
“Kau selalu memanjakan anak itu. Paling jauh, dia
hanya akan pergi ke kandang kuda. Biarkan saja. Nanti sore juga bakal pulang”
tepis Datuk Maringgih dengan mata sinisnya.
“Pakaian di petinya sudah tak ada!” tegas ibu Malin.
Mendengar perkataan itu, Datuk Maringgih sontak
berdiri. Sebab Malin yang baru beberapa saat lalu masih bicara dengannya, telah
pergi. Datuk Maringgih mengumpat dalam hati. Tapi di bibirnya, keluar perintah
kepada Dubalang untuk mengumpulkan seratus orang pemuda. Dubalang bergegas
keluar dari pintu istana.
Di sepanjang jalan, Dubalang bersorak, “Malin
Kundang hilang. Malin Kundang mungkin menghilang!”
Sesuai perintah Datuk Maringgih, Dubalang telah
berhasil mengajak seratus orang pemuda yang bersedia untuk mencari Malin
Kundang. Keseratus pemuda itu langsung dibawa ke hadapan Datuk Maringgih.
Mereka dijanjikan hadiah tuak seribu tabung jika telah berhasil menemukan Malin
Kundang dan membawanya pulang. Maka dengan sigap mereka pergi. Walau tak tahu
akan mencari kemana.
Hampir semua orang membicarakan kehilangan Malin.
Sebelum berita itu tersiar ke kerajaan Antu Balawu, Datuk Maringgih sudah
terlebih dahulu mengabarkannya ke Mangkuto Sati, pemimpin di kerajaan Antu
Balawu lewat sepucuk surat. Surat itu berisi pemberitahuan bahwa perjanjian
dibatalkan. Datuk Maringgih sebenarnya begitu sayang dengan Malin Kundang.
Sebab ia Malin Kundang satu-satunya pewaris kerajaannya. Ia berpikir bahwa
kepergian Malin Kundang berawal dari perjodohan yang tak bisa diterima oleh
anaknya itu. Namun ternyata Mangkuto
Sati tetap saja tak terima. Jangankan memberi pertolongan untuk menemukan Malin
Kundang, Datuk Maringgih justru yang disalahkan oleh Mangkuto Sati. Ia tak
terima jika itu menjadi alasan dibatalkannya perjodohan antara Malin dengan
Oktelia.
Mangkuto Sati mengeluarkan ultimatum lewat sepucuk
surat balasan.
“Jika perjanjian atas perjodohan Malin dengan
Oktelia dibatalkan, maka seribu pasukan berkuda akan berbaris di perbatasan” begitu
isi surat yang dibawa pulang oleh dua orang pesuruh Datuk Maringgih.
Mangkuto Sati merasa telah dipermainkan oleh Datuk
Maringgih. Maka dengan itu ia mengajak kerajaan Cimporong untuk berperang. Ia
menganggap Datuk Maringgih telah ingkar. Sungguh ia tak bisa menerima. Dengan
adanya ultimatum itu, ketakutan Datuk Maringgih terhadap Mangkuto Sati makin
menjadi-jadi. Sebab ia tahu bahwa kerajaannya tak memiliki pasukan perang
sekuat kerajaan Antu Balawu. Tubuhnya menggigil seusai membaca surat itu. Ia
benar-benar takut kalau Cimporong, yang merupakan kerajaan terkaya itu
dihancurkan.
Pada saat bersamaan, di kerajaan Singo Ompong, riuh
juga orang-orang sedang membicarakan kehilangan Siti Nurbaya. Hampir sama
persoalannya dengan kehilangan Siti Nurbaya. Tapi hilangnya Siti Nurbaya,
memang tak satu orangpun yang mengetahui. Bahkan ibunya sekalipun. Entah
hilang, atau dihilangkan. Entahlah.
Berita kehilangan Siti Nurbaya terdengar sampai ke
telinga Datuk Maringgih dalam tempo yang begitu singkat. Datuk Maringgih
mencoba mengait-ngaitkannya dengan kehilangan Malin Kundang. Sebab baginya,
bukan mustahil lagi kalau Malin Kundang pergi bersama Siti Nurbaya. Datuk
Maringgih langsung turun tangan untuk berangkat ke kerajaan Singo Ompong. Ia
tak geram sama sekali dalam melangkah. Bahkan ia begitu sering menghardik kusir
bendi yang lalai melecut pantat kuda.
Sesampai di kerajaan Singo Ompong, Datuk Maringgih
langsung mencari rajanya. Saat ia tiba, di depan istana orang-orang sedang
berkumpul. Datuk Maringgih bersama beberapa orang pengawalnya menyibak
kerumunan. Langsung ia tanya dimana raja. Seorang Dubalang di kerajaan Singo
Ompong berusaha menghadangnya.
“Ada perlu apa tuan mencari raja?” tanya Dubalang.
“Kami hendak bicara. Putra kami hilang.” Ungkap
Datuk Maringgih.
“Maaf tuan. Raja sedang berduka. Putrinya yang
hilang sejak semalam, baru saja ditemukan tergeletak di tanah. Sebaiknya tuan
kembali saja.”
“Sakit?” tanya Datuk Maringgih.
“Mati. Tidak tahu penyebabnya. Kami hanya menemukan
bekas tabung racun di tangan kanan Siti Nurbaya, putri raja”
Mendengar penjelasan dari Dubalang, Datuk Maringgih hanya
mengangguk. Lalu memberi isyarat kepada pengawalnya untuk segera pergi.
Setelah tiba kembali di kerajaan Cimporong, Datuk
Maringgih terlihat asing. Disapa oleh istrinya, ia tak menjawab. Ia mengurung
diri di dalam kamar. Memang begitu berat baginya untuk kehilangan Malin.
Apalagi ditambah oleh ancaman yang datang Mangkuto Sati.
***
Selama dua hari dua malam, Datuk Maringgih tak
terlihat. Ia mengurung diri di dalam kamar. Pintu ia kunci erat-erat. Istrinya
saja tak ia biarkan masuk. Melihat keadaan itu, istrinya cemas. Dipanggil pun
ia tak menyahut. Pada hari ke dua itu, istrinya menyuruh seorang pengawal kerajaan
untuk mendobrak pintu. Setelah pintu rubuh, tak terlihat Datuk Maringgih di
dalam kamar itu. Yang ada hanyalah sebatang pohon pinus. Tak diketahui dengan
pasti asalnya. Di duga pohon pinus itu adalah jelmaan Datuk Maringgih. Semenjak
itu tersiar kabar bahwa Datuk Maringgih mengutuk dirinya sendiri menjadi pohon
pinus. Sedangkan istrinya merasa sangat menyesal karena telah menyuruh Malin
Kundang pergi merantau.*
Limau Manis, 2014
*Terbit di Padang Ekspres, Minggu 14 Desember 2014
Andika Sahara,
lahir di Payakumbuh tanggal 21 Agustus 1990. Melakukan studi Sastra Indonesia
di Universitas Andalas. Giat menulis cerpen di Labor Penulisan Kreatif. Saat
ini aktif di perfileman bersama komunitas Filtograph.
0 comments:
Post a Comment