Monday, December 15, 2014

Surau: Sejarah, Pekembangan, hingga Kembali ke Surau



Oleh: Khairy Ra’if Thaib

Surau pada mulanya adalah sebuah tempat pertapaan. Ini pertamakali didirikan oleh  masyarakat Minangkabau yang beragama Budha. Kemudian, dalam pandangan masyarakat tradisi Minangkabau surau merupakan sebuah bangunan punya suatu suku. Letak surau biasanya agak jauh dari rumah gadang. Digunakan untuk tempat tidur para remaja lelaki Minang dan para lelaki tua Minang yang sudah cerai atau ditinggal mati istrinya.

Selanjutnya surau digunakan untuk mendidik para remaja lelaki Minang. Di surau mereka belajar bersosialisasi dengan masyarakat dan belajar silat. Guru mereka ialah para lelaki tua Minang yang telah mengecap asam-garam kehidupan. Surau juga digunakan untuk penginapan bagi orang-orang yang berkunjung ke Minangkabau.

Setelah masuknya Islam ke Minangkabau, para penyebar Islam yang dikenal dengan urang Siak diterima baik oleh masyarakat dan diinapkan di surau. Di sini terjadi percampuran antara tradisi Minangkabau dan agama Islam. Urang Siak mengajarkan Islam kepada masyarakat Minangkabau. Surau di sini telah menjadi sarana pembelajaran adat dan agama.

Di surau, para lelaki remaja Minang belajar mengaji setelah shalat Maghrib. Kemudian mereka akan belajar silat setelah Isya. Setelah itu mereka akan mendengarkan kisah-kisah, baik kisah tentang Minangkabau (tambo, kaba, petuah adat, dan sebagainya) maupun cerita-cerita Islam. Mereka juga akan menulis tambo, kaba, dan ajaran adat dengan tulisan Jawi. Setelah itu mereka akan tidur dan bangun ketika Shubuh. Melaksanakan shalat shubuh berjamaah. Kemudian mereka akan pergi pulang ke rumah gadang untuk membantu orangtua dan mamak bekerja di sawah dan di ladang. Bila Maghrib tiba mereka akan kembali lagi ke surau. Siklus seperti inilah yang setiap hari dilewati para lelaki remaja Minang.

Surau juga dijadikan sebagai rantau kecil. Rantau tempat menimba ilmu yang jaraknya sangat dekat dengan rumah gadang. Sebelum pada akhirnya para lelaki remaja Minang ini beranjak dewasa. Dan mereka akan merantau jauh meninggalkan Minangkabau. Mengadu nasib di negeri orang.

Peranan urang Siak di surau sangatlah penting. Mereka tidak hanya mengajarkan berbagai ilmu agama. Tentang dunia dan akhirat. Mereka juga mendidik para lelaki remaja Minang untuk bisa menjadi ulama. Ulama yang akan menyebarkan ajaran Islam dan untuk tempat bertanya. Banyak tokoh ulama yang dilahirkan di surau.

Dunia pendidikan di surau ialah pendidikan ilmu kehidupan. Segala ilmu dipelajari di surau. Jadi tak heran jika surau banyak melahirkan tokoh-tokoh politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan sebagainya.

Seiring bertambahnya tahun, berubahnya zaman dari era tradisi ke modern. Telah membuat peranan surau semakin hari semakin berkurang. Hal ini juga disebabkan oleh pola pendidikan modern Indonesia yang mengadaptasi pola pendidikan Barat. Yang mana, yang terpenting bagi masyarakat saat ini adalah sekolah di sekolah formal. Sehingga fungsi surau sebagai sarana pendidikan berangsur-angsur tenggelam. Penyebab lain, kemajuan teknologi dan globalisasi. Kemajuan teknologi dan arus globalisasi menyebabkan manusia tak sulit lagi untuk menuntut ilmu. Dengan membuka internet seseorang akan bisa belajar apa saja. Begitu pun dengan laju mobilitas. Seseorang tidak lagi bepergian dengan berjalan kaki atau naik pedati. Tapi ia sudah menggunakan sepeda motor, mobil, kereta, kapal, dan pesawat. Yang membuatnya cepat sampai ke tempat tujuan. Juga pengaruh budaya Barat yang masuk ke Minangkabau. Yang menyebabkan memudarnya budaya Minangkabau dalam diri masyarakat Minangkabau sendiri.

Di zaman ini orang tidak banyak lagi bekerja di sawah ataupun di ladang. Mereka sudah bekerja di kantor, di perusahaan, dan sebagainya. Waktu yang dihabiskan untuk bekerja pun semakin banyak. Hal ini tentu didukung oleh kebutuhan hidup yang semakin hari semakin meningkat dan semakin kompleks. Yang menyebabkan orang-orang tidak banyak waktu untuk pergi ke surau. Sehingga surau semakin jauh dari kehidupan masyarakat Minangkabau.

Sebab lain, karena kurangnya perhatian niniak mamak, alim ulama, dan masyarakat umum terhadap surau. Niniak mamak dan alim ulama selalu sibuk dengan diri sendiri. Sehingga tugas mereka sebagai pemimpin terkesampingkan. Begitupun dengan masyarakat. Surau pun semakin terpinggirkan. Masyarakat Minangkabau sekarang tak banyak lagi yang tahu tentang surau. Bahkan banyak di antara surau yang telah roboh. Seperti yang disampaikan A.A. Navis lewat cerpennya Robohnya Surau Kami. Kerobohan surau bukan hanya kerobohan fungsi dan peranan surau itu sendiri. Tapi kerobohan bangunan surau itu. Puing-puingnya juga telah roboh. Tapi tak ada niat untuk memperbaikinya.

Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis ini merupakan kritik Navis terhadap masyarakat Minangkabau. Navis tidak lagi menggunakan subjek ‘kita’ dalam judul cerpen. Tapi memakai subjek ‘kami’. Bila kita analogikan ke dalam bahasa Minang. ‘Kami’ dimaksudkan untuk mewakili masyarakat Minangkabau. Navis tidak lagi memberitakan ‘kerobohan surau’ ini pada masyarakat Minang sendiri. Tapi Navis memberitahukannnya kepada masyarakat luar Minang. Ini adalah suatu kemarahan besar Navis terhadap masyarakat Minangkabau.

Kalau kita melihat hubungan kata dalam ‘Robohnya Surau Kami’. Navis seolah-olah membanggakan kepada orang luar Minang. Bahwa surau mereka telah roboh. Adat dan agama mereka telah hancur. Hal ini berbeda sekali kalau Navis memakai judul  Surau Kami yang Roboh atau Kerobohan Surau Kami. Dengan membanggakan kepada orang luar akan hancurnya adat dan agama. Ini menjadi akhir dari segala sesuatu. Navis tidak lagi mengkritik masyarakat Minang yang tidak peduli dengan surau. Masyarakat Minang terlalu kebal dan antikritik. Lalu Navis membanggakan suraunya yang telah roboh itu kepada masyarakat luar. Ini adalah kritik di atas kritik. Tapi bagaimana pun Navis mengkritik dan menyindir masyarakat dalam Robohnya Surau Kami. Ternyata cerpen hanyalah cerpen. Yang dianggap fiksi, hanya karangan pengarang yang mengada-ngada saja oleh masyarakat. Robohnya Surau Kami tidak bisa meyadarkan masyarakat.

Beberapa tahun belakangan sering muncul wacana Kembali ke Surau. Wacana ini muncul karena ketakutan masyarakat Minangkabau sendiri akan keruntuhan adat dan kehancuran agama mereka di tengah zaman yang serba canggih dan serba instan ini. Wisran Hadi dalam bukunya Sagarobak-Tulak Buah Tangan Wisran Hadi: Anak Dipangku Kemenakan di BIM menyampaikan kalau memang harus kembali ke surau maka harus ada pengertian dan definisi surau secara menyeluruh dan umum. Selama ini definisi surau berbeda-beda. Lalu bagaimana pula pengertian surau dalam masyarakat Minangkabau modern saat ini.

Wacana Kembali ke Surau ini sebaiknya dihapuskan saja. Karena tidak mungkin surau akan dikembalikan ke masa lalu. Surau mengalami banyak perkembangan dari masa ke masa. Kalau Kembali ke Surau adalah kembalinya surau seperti dulu, seperti zaman tradisi, itu tak mungkin terajdi. Masyarakat sekarang ialah masyarakat yang beragam dengan kebutuhan yang beragam pula. Tak mungkin setiap malam anak muda Minang hidup di surau. Mereka mempunyai banyak kehidupan lain. Tak mungkin pula lelaki tua Minang akan tinggal di surau. Mengajar kemenakan dan menunggu ajal. Banyak hal yang bisa mereka lakukan di luar sana. Apalagi kalau mereka sudah sakit-sakitan. Alangkah lebih baik jika mereka dirawat anak-anaknya di rumah. Mengapa harus pulang ke surau. Lalu tambah tak mungkin jika surau dikembalikan pada asal mula surau itu berdiri. Yakni sebagai tempat pertapaan. Ini lebih kacau lagi. Apakah masyarakat Minangkabau harus kembali beragama Hindu-Budha dengan Kembali ke Surau ini.

Seharusnya semua pihak tidaklah mengembalikan surau bagaimanapun namanya. Tapi memungsikan surau sebaik-baiknya. Sesuai dengan kebutuhan manusia dan perkembangan zaman. Bukan meletakkan surau pada posisi semula.(*)

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Singgalang, 14 Desember 2014

0 comments:

Post a Comment