Oleh: Khairy
Ra’if Thaib
Surau
pada mulanya adalah sebuah tempat pertapaan. Ini pertamakali didirikan oleh masyarakat Minangkabau yang beragama Budha.
Kemudian, dalam pandangan masyarakat tradisi Minangkabau surau merupakan sebuah
bangunan punya suatu suku. Letak surau biasanya agak jauh dari rumah gadang. Digunakan
untuk tempat tidur para remaja lelaki Minang dan para lelaki tua Minang yang sudah
cerai atau ditinggal mati istrinya.
Selanjutnya
surau digunakan untuk mendidik para remaja lelaki Minang. Di surau mereka
belajar bersosialisasi dengan masyarakat dan belajar silat. Guru mereka ialah
para lelaki tua Minang yang telah mengecap asam-garam kehidupan. Surau juga
digunakan untuk penginapan bagi orang-orang yang berkunjung ke Minangkabau.
Setelah
masuknya Islam ke Minangkabau, para penyebar Islam yang dikenal dengan urang Siak diterima baik oleh masyarakat
dan diinapkan di surau. Di sini terjadi percampuran antara tradisi Minangkabau
dan agama Islam. Urang Siak
mengajarkan Islam kepada masyarakat Minangkabau. Surau di sini telah menjadi
sarana pembelajaran adat dan agama.
Di
surau, para lelaki remaja Minang belajar mengaji setelah shalat Maghrib.
Kemudian mereka akan belajar silat setelah Isya. Setelah itu mereka akan
mendengarkan kisah-kisah, baik kisah tentang Minangkabau (tambo, kaba, petuah
adat, dan sebagainya) maupun cerita-cerita Islam. Mereka juga akan menulis
tambo, kaba, dan ajaran adat dengan tulisan Jawi. Setelah itu mereka akan tidur
dan bangun ketika Shubuh. Melaksanakan shalat shubuh berjamaah. Kemudian mereka
akan pergi pulang ke rumah gadang untuk membantu orangtua dan mamak bekerja di
sawah dan di ladang. Bila Maghrib tiba mereka akan kembali lagi ke surau.
Siklus seperti inilah yang setiap hari dilewati para lelaki remaja Minang.
Surau
juga dijadikan sebagai rantau kecil. Rantau tempat menimba ilmu yang jaraknya
sangat dekat dengan rumah gadang. Sebelum pada akhirnya para lelaki remaja
Minang ini beranjak dewasa. Dan mereka akan merantau jauh meninggalkan
Minangkabau. Mengadu nasib di negeri orang.
Peranan
urang Siak di surau sangatlah
penting. Mereka tidak hanya mengajarkan berbagai ilmu agama. Tentang dunia dan
akhirat. Mereka juga mendidik para lelaki remaja Minang untuk bisa menjadi
ulama. Ulama yang akan menyebarkan ajaran Islam dan untuk tempat bertanya.
Banyak tokoh ulama yang dilahirkan di surau.
Dunia
pendidikan di surau ialah pendidikan ilmu kehidupan. Segala ilmu dipelajari di
surau. Jadi tak heran jika surau banyak melahirkan tokoh-tokoh politik,
ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan sebagainya.
Seiring
bertambahnya tahun, berubahnya zaman dari era tradisi ke modern. Telah membuat
peranan surau semakin hari semakin berkurang. Hal ini juga disebabkan oleh pola
pendidikan modern Indonesia yang mengadaptasi pola pendidikan Barat. Yang mana,
yang terpenting bagi masyarakat saat ini adalah sekolah di sekolah formal.
Sehingga fungsi surau sebagai sarana pendidikan berangsur-angsur tenggelam.
Penyebab lain, kemajuan teknologi dan globalisasi. Kemajuan teknologi dan arus
globalisasi menyebabkan manusia tak sulit lagi untuk menuntut ilmu. Dengan
membuka internet seseorang akan bisa belajar apa saja. Begitu pun dengan laju
mobilitas. Seseorang tidak lagi bepergian dengan berjalan kaki atau naik
pedati. Tapi ia sudah menggunakan sepeda motor, mobil, kereta, kapal, dan
pesawat. Yang membuatnya cepat sampai ke tempat tujuan. Juga pengaruh budaya
Barat yang masuk ke Minangkabau. Yang menyebabkan memudarnya budaya Minangkabau
dalam diri masyarakat Minangkabau sendiri.
Di
zaman ini orang tidak banyak lagi bekerja di sawah ataupun di ladang. Mereka
sudah bekerja di kantor, di perusahaan, dan sebagainya. Waktu yang dihabiskan
untuk bekerja pun semakin banyak. Hal ini tentu didukung oleh kebutuhan hidup
yang semakin hari semakin meningkat dan semakin kompleks. Yang menyebabkan
orang-orang tidak banyak waktu untuk pergi ke surau. Sehingga surau semakin
jauh dari kehidupan masyarakat Minangkabau.
Sebab
lain, karena kurangnya perhatian niniak mamak, alim ulama, dan masyarakat umum
terhadap surau. Niniak mamak dan alim ulama selalu sibuk dengan diri sendiri. Sehingga
tugas mereka sebagai pemimpin terkesampingkan. Begitupun dengan masyarakat. Surau
pun semakin terpinggirkan. Masyarakat Minangkabau sekarang tak banyak lagi yang
tahu tentang surau. Bahkan banyak di antara surau yang telah roboh. Seperti
yang disampaikan A.A. Navis lewat cerpennya Robohnya
Surau Kami. Kerobohan surau bukan hanya kerobohan fungsi dan peranan surau
itu sendiri. Tapi kerobohan bangunan surau itu. Puing-puingnya juga telah
roboh. Tapi tak ada niat untuk memperbaikinya.
Cerpen
Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis
ini merupakan kritik Navis terhadap masyarakat Minangkabau. Navis tidak lagi
menggunakan subjek ‘kita’ dalam judul cerpen. Tapi memakai subjek ‘kami’. Bila
kita analogikan ke dalam bahasa Minang. ‘Kami’ dimaksudkan untuk mewakili
masyarakat Minangkabau. Navis tidak lagi memberitakan ‘kerobohan surau’ ini
pada masyarakat Minang sendiri. Tapi Navis memberitahukannnya kepada masyarakat
luar Minang. Ini adalah suatu kemarahan besar Navis terhadap masyarakat
Minangkabau.
Kalau
kita melihat hubungan kata dalam ‘Robohnya Surau Kami’. Navis seolah-olah
membanggakan kepada orang luar Minang. Bahwa surau mereka telah roboh. Adat dan
agama mereka telah hancur. Hal ini berbeda sekali kalau Navis memakai judul Surau
Kami yang Roboh atau Kerobohan Surau
Kami. Dengan membanggakan kepada orang luar akan hancurnya adat dan agama.
Ini menjadi akhir dari segala sesuatu. Navis tidak lagi mengkritik masyarakat
Minang yang tidak peduli dengan surau. Masyarakat Minang terlalu kebal dan
antikritik. Lalu Navis membanggakan suraunya yang telah roboh itu kepada
masyarakat luar. Ini adalah kritik di atas kritik. Tapi bagaimana pun Navis
mengkritik dan menyindir masyarakat dalam Robohnya
Surau Kami. Ternyata cerpen hanyalah cerpen. Yang dianggap fiksi, hanya
karangan pengarang yang mengada-ngada saja oleh masyarakat. Robohnya Surau Kami tidak bisa
meyadarkan masyarakat.
Beberapa
tahun belakangan sering muncul wacana Kembali
ke Surau. Wacana ini muncul karena ketakutan masyarakat Minangkabau sendiri
akan keruntuhan adat dan kehancuran agama mereka di tengah zaman yang serba
canggih dan serba instan ini. Wisran Hadi dalam bukunya Sagarobak-Tulak Buah Tangan Wisran Hadi: Anak Dipangku Kemenakan di BIM
menyampaikan kalau memang harus kembali ke surau maka harus ada pengertian
dan definisi surau secara menyeluruh dan umum. Selama ini definisi surau berbeda-beda.
Lalu bagaimana pula pengertian surau dalam masyarakat Minangkabau modern saat
ini.
Wacana
Kembali ke Surau ini sebaiknya
dihapuskan saja. Karena tidak mungkin surau akan dikembalikan ke masa lalu. Surau
mengalami banyak perkembangan dari masa ke masa. Kalau Kembali ke Surau adalah kembalinya surau seperti dulu, seperti
zaman tradisi, itu tak mungkin terajdi. Masyarakat sekarang ialah masyarakat
yang beragam dengan kebutuhan yang beragam pula. Tak mungkin setiap malam anak
muda Minang hidup di surau. Mereka mempunyai banyak kehidupan lain. Tak mungkin
pula lelaki tua Minang akan tinggal di surau. Mengajar kemenakan dan menunggu
ajal. Banyak hal yang bisa mereka lakukan di luar sana. Apalagi kalau mereka
sudah sakit-sakitan. Alangkah lebih baik jika mereka dirawat anak-anaknya di
rumah. Mengapa harus pulang ke surau. Lalu tambah tak mungkin jika surau
dikembalikan pada asal mula surau itu berdiri. Yakni sebagai tempat pertapaan.
Ini lebih kacau lagi. Apakah masyarakat Minangkabau harus kembali beragama
Hindu-Budha dengan Kembali ke Surau
ini.
Seharusnya
semua pihak tidaklah mengembalikan surau bagaimanapun namanya. Tapi memungsikan
surau sebaik-baiknya. Sesuai dengan kebutuhan manusia dan perkembangan zaman. Bukan
meletakkan surau pada posisi semula.(*)
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Singgalang, 14 Desember 2014
0 comments:
Post a Comment