This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Friday, November 21, 2014

Mengukur Derajat Keislaman dalam Sastra Bergenre Islami

Esai Rita Deswita

Setiap karya memiliki genrenya masing-masing, tidak terkecuali sastra. Dalam beberapa tahun terakhir ini banyak ditemui karya sastra yang mengangkat tema Islam dan masalah keislaman sebagai gagasan atau ide pokoknya. Sebut saja karya-karya sastra populer karangan Habiburrahman, yang mengemas cerita-cerita pergaulan hidup manusia terutama dalam hal percintaan dihiasi dengan nuansa-nuansi islami yang ada di Mesir. Ayat-ayat Cinta yang menjadi novel Best Seller ini , menjadi pemantik bagi pengarang-pengarang lain untuk menciptakan jenis novel dengan napas yang sama. Muncullah novel-novel islami yang meruak ke permukaan bak jamur yang tumbuh di musim penghujan saat ini. Baru-baru ini novel 99 Cahaya di Langit Eropa karangan sepasang suami istri, Hanum Salsabila Rais dan Rangga, juga menyuguhkan cerita yang berbau Islami. Diwujudkan dalam setiap rangkaian peristiwa yang dialami oleh Hanum dalam mencari hidayah Tuhan Yang Maha Kuasa. Fenomena ini menimbulkan sejumlah pertanyaan yang bersarang dalam benak kita, seberapa besar aspek Islam yang ada pada karya sasra Islami? Apakah setiap karya sastra bergenre Islami memiliki nilai keislaman sebagai esensi pokoknya? Jika ada, seberapa besarkah derajat keislaman dalam sastra bergenre Islami itu? Tentulah ini merupakan suatu bentuk tindakan untuk mengkritisi isi sebuah karya sastra, mengingat pada kenyataannya banyak karya sastra yang ngakunya Islami, tetapi hanya karena narasi cerita yang dipenuhi simbol-simbol kegamaan. Tidak jarang karya sastra yang mengangkat masalah Islam, hanya sebatas sarana untuk mencapai tujuan estetis semata, tanpa mempertimbangkan aspek keislaman Islam itu sendiri. Artinya, banyak pengarang-pengarang sastra Islami menyuguhkan cerita dengan nuansa islam, tetapi tidak memperhatikan aspek-aspek atau nilai-nilai Islam yang sesungguhnya dan kadang berlawanan dari apa yang ada dalam ceritanya. Hal itu menyebabkan, pengarang mencari jalan alternatif-alternatif yang bisa dijadikannya sebagai patokan keislaman dalam karyanya. Peristiwa-peristiwa yang sarat akan simbol-simbol keagamaan seolah menjadi syarat mutlak dalam pandangan seorang pengarang dalam menciptakan karyanya. Suara azan, kubah masjid, santri merupakan simbol-simbol yang kerap kali ditemukan dalam sastra bergenre Islam saat ini. Seolah memaksakan untuk menyinkronnya atau menyelaraskan dengan narasi cerita yang akan dibuat. Bukankah Islam sendiri mempunyai nilai-nilai atau esensi-esensi yang jika diperhatikan lebih cermat lagi erat kaitannya dengan manusia dan kemanusian, di samping relation antara seorang hamba dan sang khaliq. Bukankah simbol-simbol keagamaan yang seperti disebutkan di atas hanya sekedar bentuk-bentuk acuan dalam Islam (Saussire menyebut dengan petanda), bukan tentang apa yang ada dalam ajaran Islam. Artinya, suara azan ,masjid dan sebagainya ialah penanda agama Islam, sedangkan nilai-nilainya seperti telah disebutkan lebih berkaitan dengan manusia dan kemanusian, di samping hubungan antara makhluk dan sang pencipta. Simbol-simbol tersebut hanya digunakan untuk sarana untuk mencapai tujuan estetetis semata dan mengaburkan nilai-nilai Islam itu sendiri. Bukankah kita ketahui jika suatu tujuan sudah tercapai, cara menjadi hal yang tidaklah terlalu penting. Nilai keislaman itu hanya dimanifestasikan dalam bentuk simbol-simbol keagamaan dalam karya-karya sastra. Untuk itu, sastra bergenre Islam perlu mendapat perhatian yang lebih oleh kita semua.
Jika kita menilik sejarah sastra Indonesia beberapa dekade ke belakang, banyak juga ditemukan pengarang yang mengangkat tema keislaman dalam karyanya. Sebut saja Buya Hamka. Roman-roman buah hasil pikiran Hamka banyak yang ide-ide ceritanya berkaitan dengan agama Islam, selain (tentunya) masalah adat Minangkabau. Akan tetapi, sepertinya, Hamka telah mempelajari tentang Islam secara Kaffah. Secara menyeluruh bukan hanya sebatas mengetahui simbol-simbol agama Islam. Hal ini sebagai indikator bahwa latar belakang sosial budaya juga mempengaruhi karya seorang pengarang. Hamka seorang ulama besar yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan dan keluarga yang juga ulama. Beliau tentunya mengetahui Islam secara mendalam. Baik simbol-simbol agama lebih-lebih aspek atau nilai-nilai Islam. Walaupun ia tidak secara ekplisit dalam karya-karyanya tidak menyuarakan nilai-nilai, tetapi esensi dari keislaman itu dapat dirasakan dan barangkali tentunya dapat diterjemahkan. Bahkan terkadang, Hamka juga seolah berdakwah (tanpa menggurui pembaca) lewat karya-karyanya. Hal inilah barangkali dapat kita simpulkan bahwa sastra bergenre Islami belum tentu memuat unsur-unsur keislaman sebagaimana layaknya, semua itu tergantung dari proposisi masing-masing pengarang untuk menyuguhkannya lewat penarasian ceritanya, sehingga derajat keislaman dalam sebuah karya sastra Islami selain berdasarkan subjektivitas pengarang dalam menginterpretasikan nilai-nilai islam dalam karyanya, tampaknya latarbelakang sosbud yang ada di sekitar pengarang tersebut juga memberi andil dalam karyanya. (*)

*Penulis Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang

Puisi-Puisi Roby Satria

Aku Adalah Kertas

Aku adalah kertas
Jadikanlah perahu, seperti kekanankmu dulu
Naikkan segala kata di atasnya
Seperti nuh yang membawa segala nyawa
Layarkanlah pada tempat yang tak sependek kalimat
Kemudian di paragraf sana biar aku yang merapungkannya.

Padang, 2014

Layangan

layangangku bisa saja seperti layangan lainnya
terbang di langit yang tak sebesar rumpun bambu.
dekat diulur jauh dijujut
tapi semenjak angin berkepusu binal
ia layangan pandai memintal
dan meliuk liar sebelum akhirnya tersangkut
pada pucuk pinang.

layanganku tak lagi biasa sekarang.
sebab dijangkau tak sampai tangan
menjuluk pun penggalah sayup,
meski berjinjit kaki Marie Taglioni.
namun, malang sungguh malang
ia layangan pandai bersantai dengan ekor melambai.
seakan tak tahu kekanakku tersangkut bersamanya.

Padang, 2014

Mimpi

mimpi tak pernah lelah datang dalam tidurmu.
tak pernah kehabisan cerita.
jika dilukiskan,
daratan dan apa saja yang luas habis jadi kanvas
dan segala yang cair jadi pewarna.
kemudian, apapun yang berujung jadi kuas.
tiada pernah bakal tahu dengan cukup
yang akan ia pajang di balik dengkurmu
yang serupa kucing makan tulang.

setelah kau terjaga, akibat muka ditimpa cahaya
yang mengusir malam lewat fentilasi jendela,
bakal kau dapatkan ingatan tentang mimpi
- mengapa kau tak jadikan aku nyata?

Padang, 2014

Sajak Beruk

atas semua kelapa yang telaj jatuh
aku susun jari yang sepuluh.
"terima kasih" batinku.
pada tali yang mengekang sigapaimu.
dan sesemak terdekat yang kurengkuh
sebagai penghalaumu.
memang menampak taringku
sebab aku tak mau kau panjat kelapa orang.

Padang, 2014

Ke Payakumbuh

antara Lubuak Aluang dan Sicincin
jalan berlubang berkundang-kundang debu
seakan kuda-kuda baru siap berpacu.
menambah sesak akan rindu
yang dibentangkan jarak.

sampai di Silaiang, aku mendaki mengurai kisah
yang berkelindan di muara Pantai Padang.
ingatkah disana, sayang? di bawah tenda
kita secangkang kura-kura
yang menganggap senja sebagai musuh.
menggelikan sekali bukan?

lalu di Koto Baru setelah Padang Panjang,
aku jalan setengah patah
yang muka hilang bertambah kebelakang.
merah mata melulung
dengar cerita bawang merah, seledri, dan bumbu-bumbu saji
yang sunyi ditinggal petani.
sebab tak ada lagi yang bakal marah-marah
saat rumput liar berziarah.

sekarang baru sampai Baso.
jangan takut, aku tak membeli kain seken di Bukittinggi.
sebab benang yang kau sulam
masih melingkar di tunuhku
hangat sekali.
buat mataku seperti ayam gadis bertelur,
lekas aku terpekur,

aku ke Payakumbuh, sayang.
sepanjang jalan tak satu sumpah terlangkah
juga janji yang tercecer menuju kemari,
ke kampungku,
ke air jernih ini,
bakal aku sucikan cinta kita.

Padang, 2014

Kopi

aku ingin tidur lagi ketika kopi jalang
sebab tubuhmu membayang di dalamnya

aku ingin memelukmu saat kopi disesap
sebab tak ada gelendang pada lidah

aku ingin menumpahkannya
kopi tak punya rasa
ingatan yang tak mungkin dijumpa
tapi bagaimana bisa sebab baru saja terhidang

Padang, 2014

Sajak Tali Sepatu

sebelum kau diperadukan
sebagai sebuah tali sepatu
yang memegang erat huku pertalian - ikat mengikat
telah begitu banyak rahasia lubang yang kita lalui
maka sebelum ikat yang membikin kita lekat
aku memilih bunuh diri diinjak tapak
sebab, bukankah ular perlu lapar untuk tidur
atau rayap butuh sayap untuk terbang menjalang kematian

Padang, 2014

Makan Malam

malam seluas meja
bulan menjelma piring
seperti seorang kekasih
kita saling manja
makan malam bersama
saling menyuap cahaya

Padang, 2014

*Terbit di Singgalang, Minggu 23 November 2014

Thursday, November 20, 2014

YANG TERPASUNG


Cerpen Hakimah Rahmah Sari

SESEORANG berteriak, disahut teriakan lain yang lebih kencang. Tiba-tiba semua orang di ruangan itu berteriak pula. Seseorang menangis, disambut tangisan berikutnya yang makin panjang. Seluruh kepala di ruangan melongok ke sana ke mari. Tapi, aku tidak!
Seseorang menempelkan wajahnya di kaca jendela kelas. Matanya merah melotot, rambut awut-awutan, tidak mengenakan baju, hanya selecut kain yang menempel di bawah perut yang membuncit itu. Kulitnya berwarna cokelat, dekil, penuh koreng, dan panu di bagian punggung dan leher. 
Semua mulai panik. Salah seorang anak perempuan yang duduk di tepi jendela terisak, gadis manis berkulit putih itu memicu keributan di kelas. Ia menangis, disambung oleh tangisan seorang anak laki-laki bermata sipit—anak yang sering diintai oleh lelaki itu—yang duduk di pojok belakang, tepat di balik jendela ketika Siman menempelkan wajahnya itu.
Kelas kami gempar. Ibu guru masuk ke ruangan, menutup pintu dan meminta untuk tetap di dalam kelas. Aku tenang-tenang saja.
Siman! Lagi-lagi dia. 
Tak ada yang mau menyentuhnya, kecuali perempuan itu. Siman begitu kotor dan bau. Seorang perempuan tua datang ke sekolah, menggunakan tongkat. Siman ditarik perempuan itu. Ia begitu takut dan patuh pada si perempuan. Siman yang suka menggaruk-garuk badan dituntun ke rumahnya di samping sekolah. Suasana mulai tenang. 

SEMUA orang sudah tahu, bahwa Siman adalah orang yang pintar. Ia orang tidak waras yang cerdas. Suatu pagi di hari Minggu, di bawah pohon belimbing di jalan beraspal, sebuah meja digelar. Ada yang menjual lontong di sana. Siman datang membawa wadah—membeli lontong. Seperti biasa, orang-orang menutup hidung jika ia lewat. Jarak antara rumahnya dengan jalan beraspal tak begitu jauh. 
“Lihatlah, dengan apa dia membayarnya? Dasar bau! Ndak waras! Menjauhlah!” ujar seseorang.
“Hussh! Ayahnya itu pensiunan veteran. Pejuang! Orang yang dihormati dan disegani. Tentu ada dana yang cair setiap bulan,” timpal seorang perempuan tambun.
“Ya, ya! Dia punya uang. Hanya nasib malang saja. Lihatlah uda kandungnya, ndak waras pula. Kutukan apa itu? Padahal, dahulu dia orang jenius.” 
“Kata mertua saya, dia diguna-guna sewaktu sekolah menengah atas, karena orang iri padanya dan pada uda-nya. Di kampung ini, Sipar satu-satunya orang dari kabupaten bahkan dari Kota Padang yang bisa kuliah di UI karena jenius. Namun, ya. Orang iri, ya, begitulah, diguna-guna. Bukannya kuliah, malah senewen, dan sekarang apa? Jadi agen barang-barang bekas! Miris!” imbuh wanita hamil yang duduk bersandar di bangku kayu. 
“Ketika dia mencuri mangga muda, merusak bunga-bunga dan menyelipkannya di cuping telinga, serta menghidupkan lagu Meriam Belina dengan volume yang aduh, memekakkan telinga itu, ibunya yang pakai tongkat selalu saja membela. Anak saya sewaktu pulang sekolah, jika ada dia, pasti ketakutan. Ia suka mengejar anak-anak yang cantik dan ganteng. Ia akan menggendongnya sampai anak itu menangis,” lanjut perempuan lain yang juga buncit. Hamil tua.
Siman menyimak dengan saksama. Ia tersinggung—serupa orang waras—akan pembicaraan perempuan-perempuan itu. 
“Hoi, kau semakin hari semakin cantik saja, tapi mulutmu serupa mulut orang bodoh, tidak berpendidikan, gila! Kasihan anak dalam kandungan itu. Meskipun badanku bau, namun hatiku tidak sebau ucapanmu,” tunjuk Siman pada kedua perempuan itu secara bergantian.
Semua terpana mendengar ucapan Siman. Mereka mafhum. Siman sedang waras saat itu. Atau, barangkali guna-guna tidak mangkus jika ia tersinggung. Entahlah! 

BEBERAPA hari setelah peristiwa di sekolah itu, Siman yang umurnya berpaut lima tahun dengan umur ibuku, tak pernah muncul lagi untuk waktu yang lama. Ia hanya duduk-duduk di kursi depan rumahnya, seperti biasa, menghidupkan radio dengan volume tinggi. Menyetel siaran berita RRI, tertawa sendiri, dan menyeru setiap orang yang lewat. Aku ingat betul, sebab rumahku tak jauh dari rumahnya. Aku tak takut padanya. Ia orang yang baik dan pintar,  kecuali setelah peristiwa itu. 
Suatu hari, aku bermain ke rumah teman akrabku. Rumahnya sederhana. Halaman rumah itu ditanami bunga pukul empat, pisang-pisangan, bunga terompet yang menjalar-jalar di pagar. Siman sering mematahkan bunga-bungaan di sana dan membawanya pulang. 
Di ruang tamu, ada mainan kupu-kupu plastik yang ditempel di kaca lemari. Siman memiliki hubungan darah dengan temanku, ia sesekali berkunjung ke sana, dan temanku membencinya. Aku melihat Siman yang setengah telanjang, sedang mengutip satu mainan kupu-kupu warna kuning kunyit dengan corak hitam yang ditempel di sisi kiri lemari. Ia tergagap ketika aku masuk ke sana, namun aku tak menegurnya dan terus ke belakang, menemui temanku. Aku bertemu ibunya, dan menyampaikan apa yang kulihat. Siman tahu itu! Deg! Aku gemetar. Ia komat-kamit. Mengancam akan membunuhku. Mencekikku. Liurku terasa mengental. Pandanganku kabur. Ia sedang tidak waras! 
Akhirnya di suatu sore, sehabis mandi. Aku sedang di kamar, terdengar ribut-ribut di luar rumah.
“Hoi, Pin. Mana anakmu? Kubunuh! Akan kucekik! Pengadu! Jahat! Sally, di mana kau? Keluar! Kubunuh! Kucekik!” teriak Siman. Ia masuk ke rumah. Hilir-mudik dari ruang tamu ke dapur, mencari diriku. Dadaku berdetak cepat. Liurku mengental. Tubuhku gemetar. Mencari pintu. Bersembunyi. Mengintip dari segaris cahaya di celah-celah engsel pintu. 
Ibu keluar. Marah. Mengusir Siman. Ia pergi setelah mengancam akan mencariku lagi.
Beberapa hari, aku bermain kucing-kucingan dengan Siman. Jika melihatnya aku akan lari terbirit-birit, bersembunyi. Sampai seminggu kemudian, ia pun lupa. Aku lega. 

BERKALI-KALI aku memerhatikan Siman, sepengetahuannya ataupun tidak. Sepulang sekolah, sewaktu duduk-duduk di cabang-cabang beringin dengan teman sambil makan kuaci, seorang laki-laki mengenakan baju seragam putih abu-abu, dengan tas yang disampirkan di bahu kiri, berdiri di pinggir jalan beraspal. Kami bertanya-tanya. Siapa itu? 
Siman! Itu Siman! Siman pulang sekolah? Atau Siman ingin pulang sekolah?
Temanku mengganggunya. Aku hanya duduk diam. Takut. Trauma. Teman laki-laki mengejeknya. Menyoraki dan melempar dengan buah beringin. Ia marah. Mengintai kami dari bawah. Komat-kamit. Hingga ibunya datang. Menuntunnya pulang.
Di lain waktu, Siman mengenakan baju ibunya, pergi ke batang air dekat jembatan, bagai penyanyi dangdut, menyanyi di sana. Lalu pulang. Mengganti baju, baju tentara, baju almarhum ayahnya. Bahkan ia pernah memakai mukena ibunya di suatu malam, berjalan di kuburan. Orang-orang menyangka kuntilanak, rupanya Siman. Ia mengenakan berbagai macam pakaian—barangkali ketika dia sedang waras, dia merasakan hidup berdasarkan cita-citanya, entahlah! 
Orang-orang mengejek, namun ada juga yang memberi komentar baik. Jika ia perempuan, Siman akan memuji dan mengatakan “Wah, semakin hari kau semakin cantik saja.” Jika laki-laki, Siman akan memujinya pula. 
Begitulah Siman. Siman yang malang. Sampai pada suatu ketika, saat aku tumbuh menjadi remaja, seusai menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas lalu sekolah ke kota lain. Kota yang dingin. Sesuatu hal yang buruk selalu menimpa Siman—orang yang sesuku denganku, mamak temanku itu.
Selama sekolah di kota lain itu, aku mendapat kabar bahwa Siman dibawa lagi ke rumah sakit jiwa di Gaduik. Sakitnya hilang-timbul. Sudah beberapa kali ia dirawat di sana. Namun kali ini, ketika aku sedang melanjutkan studi di kota yang berbeda, hal mengerikan itu terjadi lagi. Siman ingat bahwa ia akan membunuhku. Mencekikku! 
Ia dinyatakan sembuh dan pulang ke rumah. Semua orang yang kenal dengan Siman terharu. Tapi tidak begitu lama. Sore hari, ketika aku lewat di depan rumahnya, ia mengikutiku dari belakang. Tak sedikit pun rasa khawatir muncul dalam diriku. Sampai di persimpangan jalan, sepasang tangan menempel di leherku dan mencekik. Tangannya begitu kuat. Aku megap-megap. Kewalahan. Tanganku menggapai-gapai. Terasa sakit. Seseorang berteriak. Memukul pundak Siman dengan arai pisang. Siman mengaum, marah. Ia tumbang. Berguling-guling. Mencakar tanah. 
Aku menepi. Napasku tersengal. Orang-orang mulai berdatangan, seorang di antaranya memberiku minum. Aku menangis. Gemetar. Leherku panas. Rasa tercekik itu masih ada, bagai tertahan di sana. Aku ciut.
Kejadian itu membuat semua orang buncah, keluar dari rumah. Siman dipasung, padahal selama ini ia tidak pernah membahayakan orang. Ibunya tak ingin membawa Siman ke Gaduik lagi. Lelaki itu dipasung di rumah besarnya yang bau. Bau kotoran itik, buah-buahan busuk yang dikumpulkan Siman, onggokan kelapa, dan kayu-kayu mersik yang diangkutnya dari tepian danau dengan ibunya. Dua orang yang malang. Saudara-saudaranya pergi merantau, dan pulang dua kali sebulan. Tinggal mereka berdua beranak. 
Siman dipasung, setelah mencekikku! Mamak-mamaknya memutuskan demikian. Siman meraung sepanjang malam. Merintih. Tertawa terbahak-bahak, merintih lagi, begitu sepanjang malam. Kaki dan tangannya terbelenggu. 

AKU pulang, setelah cukup lama meninggalkan rumah. Banyak hal yang terlewatkan. Orang-orang yang tak kusangka meninggal begitu pagi, orang-orang yang selama ini dikenal baik tiba-tiba didatangi polisi tengah malam menerima surat panggilan. Semua berjalan begitu saja. Siman tetap saja dengan dunianya, dengan pribadinya. 
Sampailah di suatu hari, ketika embun pagi masih bulat-bulat di ujung rumput; ketika matahari mulai mengintip, orang-orang di sekitar rumahku—dekat rumah Siman—berteriak. “Siman kabur. Hei, Siman kabur!” Semua gempar. Anak-anak yang berjalan menuju sekolah, terhenti, melihat Siman yang lari lambat-lambat menuju danau. Lihatlah, betapa kurusnya ia. Betapa lisutnya tubuh yang dahulunya gempal dan tegap itu. Oh, Tuhan! Siman yang malang.
Beberapa orang laki-laki dewasa—mamak-mamak Siman—berlari seraya membawa kain panjang dan selimut tebal. Membalut tubuh kurus Siman, merebahkan, dan mengangkutnya pulang. Ia berteriak minta tolong. Jarak antara aku dan Siman kira-kira hanya tiga meter. Mata itu. Mata yang memintaku. Memintaku untuk meloloskannya. Mata yang membuat air mataku menggenang dan jatuh. 
Setiap pulang, aku selalu bertanya tentang Siman pada ibuku. Pulang di minggu terakhir bulan April ini, sesuatu memerihkan mataku. Cerita Ibu membuat ingatan tentang mata Siman berkelebatan. Mata yang meminta. Siman telah meninggal seminggu yang lalu. Betapa duka menangkap hatiku ketika Ibu menceritakan bahwa ia begitu lisut dan menyedihkan. Orang-orang hampir tidak mengenalinya. 
Aroma minyak orang mati menyeruak menembus hidungku. Meresap ke pori-pori. Taburan-taburan bunga mawar ranum berserakan di pelupuk mata. Aku rindu Siman. 
Seseorang berpakaian seragam putih abu-abu, dengan tas yang disampirkan di bahu kiri, berdiri di tepi jalan beraspal. Tubuhnya gempal dan tegap. Siman? 

INS Kayutanam, Mei 2014



Biodata Penulis: 
Hakimah Rahmah Sari, kelahiran 11 Januari 1994. Mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.

Mozaic juga Kreatifitas Mahasiswa









Laporan Oleh : Oktelia Afdal (18 November 2014)

Meski dipandang sebagai forum yang dingin dalam kreativitas di luar islam, namun mahasiswa FSI FIB (Fakultas Ilmu Budaya), Universitas Andalas hadirkan Mozaic yang berbeda dengan sebelumnya. Sebagai ajang kreativitas untuk seluruh mahasiswa yang kaya dengan seniman. 

“Salah besar jika masih ada mahasiswa beranggapan bahwa FSI adalah forum yang miskin kreativitas. Justru sebaliknya, dengan pemikiran islam, ide itu datang untuk berkreativitas” Ujar Setrio selaku panitia Mozaic.

Moment Of Zest Act In Actualizing Islamic Creativity yang disingkat dengan Mozaic, merupakan acara rutin tahunan mahasiswa FSI di Fakultas Ilmu Budaya. Mozaic tahun ini dihadirkan dalam bentuk yang berbeda dari tahun sebelumnya. Biasanya, pada acara Mozaic hanya ada bazar yang berlangsung selama beberapa hari saja di koridor. Namun pada tahun ini, Mozaic juga menghadirkan berbagai macam acara sebagai bentuk kreativitas mahasiswa. 

Kegiatan ini diresmikan langsung oleh Wakil Dekan III fakultas Ilmu Budaya.
Dalam kunjungan pers, wartawan Sastra Indonesia, mendatangkan tiga orang narasumber selaku panitia Mozaic. Setrio, mahasiswa Sastra Indonesia 12 sebagai ketua panitia acara, kemudian Witri, juga mahasiswa Sastra Indonesia 12 sebagai koordinator acara dan Tito Fadli Hakim seorang mahasiswa Sastra Daerah 13 sebagai Publikasi dan Dokumentasi. Informasi yang didapatkan dari keterangan yang diberikan narasumber, bahwa Mozaic ini merupakan salah satu bentuk kegiatan kreativitas mahasiswa FSI FIB UA.

Rangkaian acara yang dipaparkan narasumber, dimulai pada tanggal 17 November 2014 yang diresmikan oleh Wakil Dekan III Dr. Anatona,M.Hum. Acara yang berlangsung selama lima hari ini, diisi dengan beberapa acara diantaranya; acara MTQ(Musabaqah Tilawatil Qur’an), Bazar yang berlangsung dari hari senin s/d Jum’at, Seminar dengan pembicara Fadland Mustika LC, yang bertempat di Medan Nan Balindung fakultas Ilmu Budaya dan Seminar kepenulisan sekaligus acara closing Mozaic.

Acara MTQ yang diadakan oleh FSI FIB UA bertujuan untuk mencari bibit MTQ dari fakultas Ilmu Budaya. Selain MTQ juga digelar acara TIMTAM (Temu Intesif Mahasiswa Tentang Islam) yang dilaksanakan pada hari kamis 20 November 2014, di Medan Nan Balindung Fakultas Ilmu Budaya.

Tidak hanya itu, FSI FIB UA juga menggelar seminar kepenulisan serta forum Annisa se-Unand dengan tema ‘Hamparan Sajadah di Belahan Dunia’ yang diadakan di ruang seminar fakultas Ilmu Budaya. Acara ini dibentuk serapi mungkin oleh para panitia untuk menyampaikan pesan bahwa akademik tanpa rohani yang baik itu tidak seimbang.

Menurut pengakuan panitia selaku narasumber, acara ini berlangsung seperti yang diharapkan. Namun kendala yang didapati hanya masalah pencarian dana. Acara ini bekerja sama dengan berbagai instansi, salah satunya Gramedia.

“Adapun tujuan Mozaic ini bagi kami ataupun mahasiswa FIB lainnya ialah untuk meningkatkan rasa cinta terhadap kegiatan yang bernilai islami, membantu mendidik karakter, akhlak mulia dan nilai kejujuran pada diri mahasiswa” Ujar Setrio.

 “Disini jelas, bahwa Islam tidak hanya mengajarkan mengaji saja, namun kreativitas juga ada dalam Islam” Ujar Tito dalam jumpa pers. Banyak hal menarik yang disampaikan oleh para narasumber sekaligus closing dari Witri untuk mengajak seluruh mahasiswa FIB UA agar ikut serta dalam acara Mozaic tahun ini.

Tuesday, November 18, 2014

Kado Hari Minggu

Cerpen Oktelia Afdal


Aku membuka jendela. Kulihat bingkisan di atas batu labrik yang dionggok di bawah jendela.
Aku lupakan sementara bingkisan itu. Aku rapikan kasur dan selimut. Sembari melipat selimut, aku bingung dan mulai merasa aneh.
Kalau diletakkan di bawah jendela kamarku, sudah jelas bingkisan itu ditujukan kepadaku” begitu pikirku.
Setelah itu, aku segera mandi dan bersiap-siap mengantarkan kue buatan Ibu ke warung-warung. Sebelum berangkat, aku mendapati pita merah jambu di keranjang sepeda. Barangkali hari ini aku diteror. Mulai dari bingkisan di bawah jendelaku, ditambah dengan pita merah jambu pada sepedaku. Karena hal itu, aku mencari Ibu ke dalam kamarnya. Ibu tak ada. Aku cari ke dapur, Masih tak aku temui. Lalu aku memanggil Ibu, berputar-putar mulai dari depan rumah sampai kebun belakang tempat Ibu biasanya menanam tumbuhan obat-obatan.
Ibu nongol dari arah belakang kebun. Entah apa yang dicari Ibu dari sana. Aku tak hiraukan itu. Aku langsung saja bertanya tentang bingkisan di bawah jendela dan pita di keranjang sepeda. Ternyata ibu juga tak mengetahuinya.
Aku kembali ke kamar. Aku lihat lagi bingkisan itu. Rasa penasaranku makin menjadi-jadi. Beberapa pertanyaan mulai terpikir olehku. Aku segera keluar dari kamar dan mengambil bingkisan itu. Ringan sekali, Seperti tidak berisi. Aku sobek pembungkus luar bingkisan itu. Ternyata masih ada lagi bungkus keduanya dengan kertas minyak bewarna hitam. Aku tetap ingin membukanya. Setelah aku buka bungkus hitam itu, aku melihat bingkisan itu dari kardus. Aku sobek saja perekat kardus, Aku menemukan selembar kertas yang ditulis “AKU”. Lalu membawanya masuk ke dalam kamar.
Mungkin saat itu wajahku pucat pasi. Merasa seakan sedang bermain di filem horor. Aku biarkan saja kertas itu di atas kasur. Lalu kubuang pembungkus bingkisan itu keluar kamar.
***
“Nana... Bangun, nak.. Ini hari minggu. Kau lupa mengantarkan kue Ibu ke warung-warung?”
Aku bersiap-siap mengantarkan kue ke warung-warung. Aku berangkat mengantarkan kue-kue Ibu dengan sepeda. Di warung terakhir tempat aku menitipkan kue-kue, Aku melihat bungkus kado yang persis sama dengan pembungkus kado bingkisan di bawah jendela. Lama sekali aku menatapnya.
Aku pulang sambil bertanya-tanya dalam hati, ‘Mana mungkin bingkisan itu datang dari warga penghujung di kampungku. Kalaupun mungkin, aku tak mengenal satupun pemuda di sana. Teman, aku tak punya teman daerah dekat-dekat sana. Sudahlah, aku capek sekali’. Aku mengayuh kencang sepeda agar cepat sampai di rumah.
Di, rumah aku dapati Ibu sedang memasak ayam kuah kecap makanan kesukaanku. Sampai di rumah, aku langsung makan di depan TV. Aku melihat ada bingkisan di bawah tempat TV. Aku taruh piring nasi di lantai. Aku ambil bingkisan itu.
“Bingkisan itu ibu temukan di tadi di depan pintu” Sahut Ibu yang tiba-tiba lewat sambil membawa jemuran kain ke dalam rumah.
“Depan pintu? Kapan Bu? Siapa lagi orang yang mengirim ini?” Ibu hanya menggeleng dan senyum simpul saja. Ayam kuah kecap kesukaanku terlupakan. Akhirnya dimakan kucing. Aku tetap saja memegang bingkisan itu. Aku buka bingkisan itu.. Kembali aku temui kertas putih yang bertuliskan satu kata “KAMU”. Mataku tak berkedip sama sekali. Degup jantungku berdebar-debar. Panas dingin meradang di tubuhku.
Aku masuk ke dalam kamar. Samar-samar mataku melihat langit-langit kamar. Aku teringat seorang penyair yang hilang di masa aku SMA. Setelah ku rangkai kertas itu, hujan di mataku tak kunjung reda. Hingga menghanyutkan aku pada sebuah kenangan. Aku ingat benar ia pernah berkata,Kelak, AKU KAMU adalah judul puisiku untukmu pada suatu hari di hari minggu”. *


Labor Penulisan Kreatif, 2014

Tentang Penulis :
Oktelia Afdal, mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Universitas Andalas.

Puisi Andesta Herli

Biar ke Lubuk Dalam


ke lubuk dalam bawalah daku, tuan
meski tubuh pecah, meski jantung hilang gairah
meski hilang segala tuah dalam darah.
aku ingin ke lubuk, menyelam untuk tenggelam sampai
ke ceruk paling dasar, lesap sampai ke suntuk paling pangkal.

biar tak terdengar lagi dendang, biar
tak tersentuh lagi pulang
dan hari-hari akan jadi cerita lain dari
si gadih rumah gadang yang senantiasa gamang
—di kamar kepayang, di sumur mambang, di
janjang aku sumbang.

sebab tak ada siapa, bakal menanam dengus di ulu jantung
tak akan dikenang lagi untung badan yang terlanjur murung
siapa bakal pengobat tubuh nan jauh digulung tenung?
sebab tuan serindu hikayat, tempat kisah-kisah
terkenang hikmat,

sebab malu di jantung belum sampai tersemat.

duhai ke lubuk dalam bawalah daku, oi, tuan
sungguh mimpi-mimpiku senantiasa angin menggebubu
di retak tulang paru
dan tuan, jalan pulang dingin dan gemetar bagi badan,
akulah si gadis kasmaran terlupa hulu.

(01/02/2014)





Perihal Kepulangan

mengukur jarak dari simpang ke simpang
meretas ingatan yang dibawa hujan-hujan.

alpa hanya langgam tualang,

merawat rindu di jantung paling hulu
sebagai gairah, tertahan di alir darah.

diam-diam ada yang beku dalam dada
jadi batu, jadi suara yang tabah bagi kami
si tualang merindu tuah.

namun rindu hanyalah setali sumbang di langkah:
ingin berjalan di depan, sekaligus demam akan
tuah di jalan silam.

kepulangan, adalah doa-doa yang tak pandai
menengadahkan tangan.

(Padang, 05/02/2014)




Merawat Rumah

dalam jantungku, sebuah rumah didirikan ibu
dulu kala kecil, hari tak pernah bisa ditebak jalannya
panas berdengkang, hujan tiba-tiba amuk membahana.

“siapa yang tahu untung, siapa tahu pecah di jantung,
meski kau, si hebat tenung!” ibu senantiasa mengingatkan
dengan raut muka tajam, seolah benar sesuatu
sedang mengancam.

sepanjang hari, sepanjang bulan serta di sengkarut tahun
aku merawat rumah itu. menyapu lantai, mengibas debu
di dinding, sesekali menganti daun jendela yang lapuk, atau
patah, entah sebab apa.

hingga aku tumbuh dewasa, kini sedikit tua. musim
telah mapan: hujan jatuh pada waktunya, sebagaimana panas
datang sesuai sangka. namun entah mengapa aku selalu
ingin sering-sering masuk ke rumah itu, sesekali tertidur pulas
di dalamnya.

setiap tahun, aku mendapati tiang-tiangnya berlubang, selalu
ada daun pintu yang rusak atau patah, hingga aku harus terus
bekerja keras memperbaikinya, merawat kenang-kenang
yang tersisa.

dan sesekali jika mumpung, aku memergoki seseorang
mematah dan mencabut kayu-kayu di dindingnya.

(02/02/2014)



Bangkai Pohon Pisang

di tebing basah tepi sungai
aku setia mengeja setiap napas
dalam waktu
menyambang

menunggu tiba masa
sebait kabar tentang asal
tersangkut di akar
dedaun busuk, atau
pada sanggul-sangul lumut
di dasar

hanya menunggu hujan,
agar arus lebih tajam
dan sejenak
tubuhku sampan
melawat jalan

aku menunggu
lagu rumpun datang
memberi nama membubuh mantra
di tubuhku yang rindu gigil hulu

(Kampung Irigasi, 2013)



Jam Empat Petang

jam empat petang dalam kulah
udara mengidap surga
jantung pecah, berserak di sela
bayang fatamorgana

satu jam tiga puluh menit napasku air
dan lumut-lumut kecil di dasar
tempurung kepalaku retak
menyeruak sampai denyut pangkal

ada titik darah pada kepak
kupu-kupu tua merayap di permukaan
darah dalam usus melesap
mengairi anus
elang jantan berkokok di kejauhan

kepada angin kepada mendung setengah
di sudut langit merah
dengusku menguap, memburu di getar
halimun kiriman peneluh negeri jauh

jam empat petang dalam kulah
Tuhan di sebalik dinding rumah
tubuhku sulah
firman-firman tak kunjung sudah

(Padang, Januari 2014)

Tentang Penulis :
Andesta Herli, Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas. Bergiat di Teater Langkah.

Atuk dan Seekor Anjing

Cerpen Muhaimin Nurrizqy

Sekarang di setiap malam, Atuk selalu bercerita kepadaku. Ia selalu menceritakan hal yang sama setiap bercerita. Jadi, ketika ia bercerita, aku sudah hafal dimana nada bicaranya akan lembut atau tegas.
Jika tempat gelapku dimasuki cahaya dari arah pintu, pada waktu itulah Atuk masuk. Ketika ia di dalam, aku hanya bisa diam. Lalu mulutku mulai bergetar. Saat Atuk mulai bercerita, selalu air mengalir dari sudut mataku.
***
Pagi itu pipiku serasa dielus lembut. Seperti elusan kapas. Ya, itu elusan ibu untuk membangunkanku. Ketika mataku terbuka, ada siluet senyum ibu yang lama-kelamaan mulai jelas. Lalu terdengar suara, “Bangun Yuang, bantu Ibu keladang.” Aku segera duduk. Termenung sesaat. Kemudian berlari menuju sumur untuk mandi.
Setelah mandi, pakaian sudah disiapkan ibu di atas kasur. Karena takut ditinggal ibu, aku salah memakaikan baju. Lubang yang sebenarnya untuk tangan malah kepalaku yang masuk. Segera kubenarkan memasangnya. Lalu aku langsung berlari keluar sambil tertawa.
Udara pagi melesat masuk hidung dan mengalir menuju paru-paru. Aku dan ibu mulai berjalan keluar halaman rumah untuk menuju ladang.  Tempayan dipegang ibu dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya aku pegang sambil berjalan dengan langkah-langkah yang sengaja aku besarkan.
Pagi itu hanya ada warna biru yang halus. Di langit terlihat burung-burung melayang kesana kemari. Aku melihat dua burung yang sedang bergelut. Mereka saling menyerang dengan cakar mereka. Itu sangat menarik bagiku, sehingga bulatan hitam di mataku hanya terpaku mengikuti arah mereka terbang.  
Belum cukup lama aku melihat burung-burung itu, tiba-tiba saja langkahku terhenti karena tangan ibu juga berhenti bergerak. Kami melihat orang-orang berlari ke arah lapangan yang berada di depan surau.
Aku melihat ada seseorang yang juga mememegang tempayan dengan tangan kanannya. Orang itu adalah Mak Elok. Mak Elok yang biasa berladang dengan kami. Mak Elok sering memberikanku singkong rebus, walau aku terkadang malas memakannya.
Karena postur tubuhnya membungkuk, Mak Elok berjalan sangat lamban. Tangannya yang memegang tempayan seperti hanya tinggal tulang yang berbalut kulit. Aku juga sering melihat di tangan Mak Elok banyak tonjolan-tonjolan yang mirip aliran sungai.
Di belakang Mak Elok ada seorang lelaki yang hanya memakai celana. Lelaki itu sedang menarik seekor kerbau, yang diikuti kerbau yang lebih kecil.
Tiba-tiba tangan ibu menarikku. Aku melihat dahi ibu berkerut. Pandangannya tidak beraturan. Sesekali ibu melihat ke kanan lalu ke kiri. Kelopak mata ibu lebih cepat berkedip dari sebelumnya. “Ada apa bu?” tanyaku. Ibu hanya diam. Kami berjalan mengikuti arah kerumunan.
Kami berhenti di kerumunan itu. Ramai sekali orang di sana, sehingga aku tidak bisa melihat apa yang terjadi di depan. Kemudian ibu menarikku ke sudut lain yang bisa melihat keadaan di depan sana.
Aku melihat panggung yang di atasnya ada beberapa Kompeni dan barang-barang yang ditumpuk. Salah satu dari Kompeni itu maju ke depan. Kompeni itu seperti sedang berbicara. Karena aku dan ibu berada di belakang keramaian, kami tidak mendengar apa yang diucapkannya. Ibu mencoba bertanya kepada orang-orang yang berada di dekat kami, tapi juga tidak ada yang mendengar.
Orang mulai berbisik-bisik. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tidak tahu. Yang jelas mereka berbisik. Di tengah itu, terdengar suara mesin dari arah belakang. Pandangan semua orang seketika berbalik menuju arah tersebut.
“Itu apa bu?” tanyaku.
 “Itu mesin berjalan dengan empat roda, nak,” jawab ibu.
Dari benda itu turun seseorang yang memakai baju putih bersih. Baju itu mengkilat,  menyilaukan pandangan. Hanya orang itu yang memakai baju sebersih itu di sini. Karena bagi kami yang biasa memakai baju adalah wanita. Itu pun tidak sebersih baju yang dipakai orang itu. Aku pun bertanya kepada ibu siapa orang itu.
“Itu orang Padang yang kaya, nak,” jawab ibu.
Ketika ia berjalan memasuki kerumunan, orang-orang menepi memberinya jalan. Orang itu terus berjalan ke depan sampai punggungnya tertutup lagi oleh kerumunan.
Kompeni di panggung itu kemudian mengangkat sebuah benda berbentuk guci. Seketika orang berteriak. Samar-samar kudengar orang mengucapkan “Dua, Tiga, Empat setengah.”
Teriakkan itu terhenti ketika kulihat ada orang yang naik ke atas panggung dan mengambil barang tersebut. Seperti itu selanjutnya. Ketika Kompeni itu mengangkat sebuah benda, orang-orang bakal berteriak.
Dari arah belakang terdengar lagi suara mesin.
“Itu mesin berjalan dengan dua roda, nak,” ujar ibu tiba-tiba.
Benda itu dikendarai oleh seseorang yang memakai baju merah. Tepatnya merah padam. Orang-orang tidak menggubrisnya, karena segala pandangan tertuju ke atas panggung.
“Itu siapa bu?” tanyaku.
 “Itu orang Bukittinggi yang banyak duitnya,” jawab ibu.
Orang yang memakai baju merah padam itu berlari menuju kerumunan sambil berteriak “Lima! Lima!”
***
Silau cahaya dari arah pintu membuat mataku susah melihat. Aku tahu yang datang itu Atuk. Ia membawa setengah batok kelapa yang berisi nasi. “Makan ya, nanti sakit,”  suara serak yang menjadi ciri khas suara Atuk. Batok kelapa itu diletakkanya dekat kepalaku.  Batok itu kubiarkan saja di sana. Tidak kusentuh.
Atuk keluar dan menutup pintu. Mataku kembali dibutakan oleh warna hitam.
***
Tanganku terlepas dari tangan ibu. Aku mencoba mencari-cari tubuh ibu di sela-sela keramaian. Aku menyelip di antara banyaknya orang disana. Arah pergiku hanya dituntun oleh suara ibu yang memanggil-manggil namaku.
Beberapa saat kemudian, aku kehilangan suara ibu. Jalanku semakin kencang.  Menabrak-nabrak orang di depanku. Tak tahu arah. Aku terus menyelip. Berlari. Menangis.
Aku berhenti dan menghela napas. Lalu aku menyadari sekarang berada di depan kerumunan. Aku sekarang berada dekat dengan panggung.
Kemudian aku dihadang Kompeni berbadan besar dengan senjata panjang di pelukannya. Aku mencoba berteriak memanggil nama ibu,  tapi suaraku tenggelam oleh suara teriakkan orang-orang.
Di sebelah kananku duduk orang Padang yang memakai baju putih tadi. Ia terlihat sedang mengacung-acungkan jarinya membentuk sebuah angka. Orang itu tidak penting bagiku. Yang terpenting dimana ibu sekarang.
Darahku tersirap seketika. Dari sela-sela badan Kompeni besar itu,  aku melihat ibu sedang berada di atas panggung. Suara sorakan kerumunan tiba-tiba menghilang. Ada lelaki yang memegang tangan ibu. Itu bukan Kompeni. Itu Atuk. Di sebelah Atuk berdiri orang Padang tadi. Cepat sekali orang Padang itu sampai di panggung, bisikku dalam hati.
Aku melihat mereka seperti sedang berbicara. Dadaku tiba-tiba sesak. Pandanganku mulai buram. Aku berencana mengejar ibu ke atas panggung. Lalu kuhantam saja Kompeni yang berada di depan. Tapi rencanaku itu sia-sia. Kompeni tadi memegang tanganku.  Lalu ia mengangkatku. Hal terakhir yang kulihat adalah sebuah tangan besar tepat di depan mataku.
***
Suara pintu terbuka. Cahaya langsung menyilaukan mataku. Kulihat Atuk datang. Tidak membawa apa-apa.
“Kenapa belum tidur? Hari sudah malam,” Atuk mengelus kepalaku.
“Nah, Atuk cerita ya, biar kamu bisa tidur.”
“Dulu, istri Atuk adalah wanita yang paling Atuk cintai. Tapi istri Atuk lebih dulu meninggalkan Atuk. Untung saja karena ibumu, Atuk mendapat banyak uang. Hahaha… Sekarang, Atuk sudah punya istri yang merawat dan mencintai Atuk. Atuk juga sudah punya anak. Rumah Atuk pun besar. Sebagai balasan Atuk kepada ibumu, Atuk menjagamu dan merawatmu di sini…” Bulir-bulir air mulai mengalir di pipiku.
Tiba-tiba ada suara dari luar.
“Sayang ada orang mencarimu, dia bilang namanya Baharto, teman lamamu dari Padang.”
“Ia, tunggu sebentar.”
Kemudian Atuk pergi meninggalkanku tanpa menyelesaikan ceritanya. Malam itu, aku melolong sejadi-jadinya.
Padang, 2014


Biodata Penulis:
Muhaimin Nurrizqy, lahir di Padang 12 Oktober 1995. Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Bergiat di Cinemama.